Memanjangkan Umur Bumi!



Islam datang dan memperkenalkan dirinya sebagai gelombang rahmatan lil 'alamin. Agama yang mengajarkan konsep integral akan kehidupan manusia, mulai dari akhlak(moral), teologi, poleksosbud, lingkungan dan aspek lain penunjang kelangsungan peradaban manusia. Manusia dan makhluk lainnya adalah satu kesatuan sistem hidup, butuh dan tergantung pada alam lingkungannya. Namun, akhir-akhir ini manusia kian aktif mengambil langkah-langkah yang cenderung merusak bahkan menghancurkan lingkungan demi sebuah aksioma kerakusan individu. Data dari para peneliti populasi masyarakat dunia menunjukan, bahwa 40 persen populasi dunia mengalami kekurangan air dan 16 persen dari lahan pertanian di dunia tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sehingga sebagian petani kehilangan hasil produktifitasnya. Sumber terjadinya kerusakan alam dan lingkungan tak lain bersumber dari cara pandang manusia itu sendiri terhadap alam. Manusia yang berpandangan oportunis, alam adalah sebuah barang dagangan yang menghasilkan banyak keuntungan. Sehingga cara dan jalan apapun ditempuh untuk menguasainya. Berbeda dengan manusia yang humanis-relijius, yang memandang alam dan lingkungan hidup adalah berdampingan dan saling membutuhkan; harus dirawat dan dijaga dari berbagai ancaman yang merusak. Lingkungan adalah titipan Tuhan.

Di sela-sela perbincangan mengenai alam dan lingkungan, muncul wacana segar yang mengkaitkan teologi agama-agama samawi dan upaya pencegahan kerusakan alam. Sebab seluruh agama samawi mendoktrinkan hal yang sama; mengecam perusak segala nikmat serta karunia Tuhan Yang Maha Kreatif. Dinyatakan, bahwa bumi dan semua isinya diciptakan Tuhan untuk umat manusia, dalam al-Quran al-Baqarah ayat 29, Allah Swt. berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi hak untuk memanfaatkan dan mengelola alam, namun juga diwajibkan untuk menjaga kelestariannya.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya. Apa guna doktrin keagamaan jika manusia bersih keras berlumur sikap egois. Tak hanya itu, Islam juga menyeru manusia untuk menanami bumi dengan tetumbuhan yang bermanfaat. Dalam perspektif Islam, bertani atau bercocok tanam adalah pekerjaan yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang memakmurkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Imam Jafar Shadiq r.a. berhikmah, “kehidupan tidak akan bahagia bila tidak ada tiga hal, yaitu udara yang bersih, air yang banyak, dan tanah yang gembur.” Maka mari kita ikut berperan aktif memanjangkan umur bumi! Sapere Aude!.

Bagaimana Barat Memandang Islam

Edward Said, dalam Orientalism, menuturkan bahwa hanya Islam yang pernah mengguncang supermasi Eropa sebanyak dua kali. Yang pertama, sejak paruh abad ke delapan Masehi, Islam telah menduduki beberapa wilayah kekaisaran Byzantium, yaitu Anatolia, Mediterania Timur atau Syam (Syria, Jerusalem, Jordan dan Leban), Memphis dan Alexandria (Mesir), Tripoli (Lybia), dan Cartagena (Tunis), serta merubuhkan kerajaan Visigotic yang menguasai Hispania (Andalus). Laut tengah (serta gugusan kepulauannya: Baleric, Sirdinia, Malta, Sisilia, Kreta, dan Cyprus) yang sejatinya menjadi kekuasaan Byzantium beralih dikuasai oleh Arab-Muslim. Dan yang kedua, terjadi di abad 16-17, yaitu ketika dinasti Turki-Utsmani (Ottoman) meruntuhkan ibukota Byzantium (Constantinople) di Bosphorus, lalu dengan cepat mengekspansi Yunani, Eropa Tenggara (Balkan), Hungaria, bahkan menembus benteng kekaisaran Austria di Vienna.

Kejadian di atas memberikan pengalaman tersendiri bagi Eropa (baca: Barat). Islam mewujud sebagai sebuah agama agung, imperium dan peradaban adiluhung sekaligus, yang bersejajar (untuk tidak dikatakan rival) dengan Eropa yang menganut Kristen, juga sebagai imperium dan peradaban luhur. Orang-orang Eropa menganggap, menafsirkan, dan mengetahui Islam dengan pelbagai sudut pandang, yang terus berubah dari masa ke masa, mulai dari yang sinis sampai apresiatif-obyektif.

* * * * *
Mula-mula, orang Eropa menganggap Islam sebagai agama heretik buatan Muhammad yang ajaran-ajarannya menjiplak dari kitab Injil. Orang-orang Muslim tidak menyembah Allah, tetapi menyembah Muhammad. Mereka juga membuat patung-patung Muhammad yang disembah terlebih dahulu sebelum shalat. Muhammad membuat bid'ah dengan tujuan ingin mendirikan imperium Arab yang kelak menguasai Persia, Timur Tengah, dan Romawi (Byzantium).

Pelbagai pandangan di atas adalah gambaran orang Eropa atas Islam, setidaknya hingga akhir abad ke sebelas. Pandangan tersebut lebih disebabkan karena informasi tentang Islam yang sampai ke Eropa memang salah kaprah dan tidak ilmiah. Puncak dari pandangan tersebut adalah meledaknya perang salib. Kaisar Byzantium dan Paus Roma menitahkan perang suci untuk melawan "musuh-musuh Tuhan" yang telah mentahrif Injil dan merampas tanah suci Jerusalem dan wilayah christiandom lainnya.

Keberadaan Islam di Andalus (Hispania) rupanya sedikit banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Eropa terhadap Islam. Islam justeru menyulut obor peradaban di Andalus, yang menjadikannya sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia kala itu. Beberapa orang Eropa banyak yang belajar di lembaga keilmuan Islam-Andalus. Mereka pun menerjemahkan pelbagai literatur Arab-Islam ke dalam bahasa Latin (bahasa resmi Eropa kala itu).

Untuk pertamakalinya, al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143 oleh seorang sarjana Spanyol bernama Robertus Ketenessis. Terjemahan ini dicetak empat ratus tahun kemudian (1616) di Bazil, Swiss, dibawah sponsor lembaga keilmuan Bibliander, lalu menyusul diterjemahkan dan dicetak dalam bahasa Jerman, Italia, dan Belanda. Masa penerjemahan al-Qur'an ini juga berbarengan dengan diterjemahkannya pelbagai literatur Arab-Islam ke dalam bahasa Latin secara besar-besaran (Michael Juha, Islamic and Arabic Studies in Europe, 1992).

Paska penerjemahan di atas, anggapan orang Eropa sedikit banyak mulai berubah ke arah yang lebih baik, sekalipun tercampur dengan ketakutan yang semakin menjadi-jadi atas Islam, tepatnya ketika pasukan Turki-Utsmani mengekspansi Yunani, Balkan, Hungaria, dan Vienna (Austria) pada abad ke-17. Sayangnya memang, orang-orang Turki bertangan dingin. Mereka memerintah dengan gaya warisan Mongol. Sejarah menceritakan, jika wilayah-wilayah Islam yang diperintah pada masa Turki-Utsmani saja kurang bernasib baik, apalagi wilayah non-Muslim. Kesan Islam yang tergambar di Eropa pada akhirnya justeru dominan dipengaruhi oleh Turki.

Satu abad kemudian, Henri de Boulavin Villers (w. 1722) menulis buku tentang sejarah nabi Muhammad dan Islam secara obyektif, yang menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima oleh nalar, jauh dari pada Kristen. Henri juga menyatakan jika agama Islam bukan agama Turki. Jika orang Eropa membaca dan memahami makna satu surat al-Qur'an saja, maka mereka akan segera tahu jika Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai budi. Pada abad ini juga ditulis kamus bahasa Arab dalam bahasa-bahasa Eropa.

Giliran abad ke-18. Pandangan Eropa terhadap Islam pun terus berubah. George Sale (w. 1736), menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris secara lebih okyektif. Begitu juga John Wolfgang von Gothe (w. 1832), yang menerjemahkan ulang al-Qur'an ke dalam bahasa Jerman secara lebih obyektif pula. Gothe dipercaya sebagai sosok yang banyak mengikis persepsi buruk Eropa (khususnya Jerman) terhadap Islam.

Di abad ke-19, kajian keislaman di Eropa semakin marak. Johann Jacob Reiske (w. 1773) memasukkan kajian sastra dan sejarah Islam ke dalam kajian sastra dan sejarah dunia. Begitu juga Joseph von Hammer Purgstalls (w. 1856), yang mengkaji dan menerjemahkan beberapa literatur kunci dari bahasa Arab, Persia, Turki, dan India ke dalam bahasa Jerman. Disusul kemudian oleh Karl Brocklmann, yang menulis ensiklopedi sejarah peradaban Arab setebal sebelas jilid (1895), juga Leon Caetani (w. 1926) yang menulis sejarah Islam dan biografi sarjana Muslim dalam bahasa Italia, dan Rinhart Ann Dozy, yang menulis sejarah Islam di Spanyol serta pengaruh Islam kepada Eropa dalam bahasa Belanda dan Spanyol.

Abad dua puluh bisa jadi menjadi puncak kajian Islam di Eropa, utamanya paska perang dunia II. Tidak dapat dinafikan memang, jika di abad sebelumnya motif Islamologi dan Orientalisme masih banyak diselimuti hawa imperialisme, kolonialisme, bahkan kristenisasi. Maka di akhir abad ini, motif tersebut mulai menguap. Beberapa Islamolog dan Orientalis semakin banyak yang mengkaji Islam (dan Timur) secara lebih obyektif. Beberapa nama semisal Henri Corbin, Pierre Lourie, Annemarie Schimmel, Roger Garaudy, Albert Hourani, Edward Said, Gustaff Lobon, John L. Esposito, dan lain-lain adalah para sarjana yang membalik kesan buruk Barat atas Islam.

Peristiwa atraktif WTC dan Pentagon di paruh mula abad 21 kembali mempengaruhi pandangan orang Barat atas Islam. Pada satu sisi, Islam "dikambinghitamkan" sebagai teroris dunia dan musuh manusia. Sebagian orang Barat pun banyak yang terpengaruh oleh stigma ini. Tetapi justeru, sebagian yang lain dari mereka menjadi penasaran dan "tertarik" untuk mengkaji Islam secara lebih jauh. Diharapkan, dengan "ketertarikan untuk mengkaji Islam lebih jauh" ini, orang-orang Barat dapat semakin lebih okyektif memandang Islam, sehingga tiba saatnya ketika yadkhulûn-a fî dîn-i-llâh-i afwâj-â. Semoga.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya.