Apakah di dalam peradaban tercakup unsur budaya dan agama


Definisi peradaban adalah, produk materi dan non materi yang dibangun oleh segolongan manusia pada masa tertentu. Tentunya, ini merupakan sebuah definisi yang sangat sederhana. Dengan mengatakan bahwa, peradaban meliputi material seperti: seni, tekhnik arsitektur, seni merancang pakaian, produksi industri dan pangan. Demikian pula dengan non material, seperti moral, pemikiran yang memiliki hubungan erat dengan budaya.

Ada juga sekelompok yang mendefinisikan peradaban dengan pemfokusan pada hal-hal yang bersifat material. Mereka hanya memperhatikan kemakmuran dari segi pembangunan yang tampak, bukan pada moral dan karakter yang bersifat non material. Maka, di sini akan tampak jelas perbedaan definisi tersebut (peradaban dan budaya) sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh bangsa Arab dan Barat. Menurut mereka (Barat), budaya adalah segala sesuatu yang berkenaan materi dan kultur, seperti: pertanian, pertambangan dan lain sebagainya. Artinya, menanam menjadi jutawan. Adapun budaya dalam perspektif bangsa Arab adalah, menjadikan sesuatu baik dan memahami kebaikan tersebut. Jadi, secara epistimologi dari kedua definisi tersebut sudah berbeda, antara yang pertama dengan kedua (prespektif Barat dan Arab). Kalau pengertian pertama sarat dengan unsur materi sedang yang kedua sayarat dengan non materi (moral dan pemikiran).

Menengok sejarah beberapa abad silam. Toby E. Huff dalam bukunya "The Rise of Early Modern Science Islam, China and the West" mengungkapkan bahwa Islam dan umatnya adalah pelopor kebangkitan ilmu pengetahuan. Dimana pada waktu itu di Barat, masih banyak orang yang berpandangan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan akan mendatangkan masalah bagi kemanusiaan. Bahkan cara pandang tersebut diperkeruh dengan dominasi gereja (Church Father) sangatlah kental terasa. Mereka membatasi para ahli dan ilmuwan untuk menghasilkan karya ilmiah, termasuk karya dibidang ekonomi. Bahkan seseorang dianggap membelot dari ajaran Tuhan bila bertentangan dengannya, dan hukuman mati pun akan diberikan padanya. Pada abad kegelapan tersebutlah, dunia Barat mengalami kemunduran di bidang keilmuwan. Sehingga ilmuwan Barat Galileo Galilei (1564-1642) memberikan kesimpulan bahwa agama tidak boleh mencampuri urusan dunia terutama urusan ilmu pengetahuan. Dengan alasan ini menjadi pemicu lahirnya gerakan sekuler.

Pandangan Islam terhadap peradaban dan budaya. Islam layaknya sebuah agama yang merupakan bagian dari budaya dan peradaban itu sendiri. Sebab Islam sangat mempengaruhi bagaimana manusia dalam berpikir dan berpendapat, bagaimana orang membangun ideologi, akidah dan kepercayaan. Itu semua memiliki arti bahwa, peradaban Islam mempunyai keunggulan tersendiri yang membedakannya dengan peradaban Romawi, Yunani dan lain sebagainya. Ketika para arsitektur Romawi yang selalu memahat patung untuk dijadikan sembahan. Di sisi lain, Arsitek Islam sudah juga mahir dalam seni dekorasi dan kaligrafi. Maka Islam sangat memberika pengaruh terhadap budaya dan peradaban. Beginilah Islam memandang keduanya, tanpa ada pemisahan dari unsur agama itu sendiri. Yang membedakan peradaban Islam dengan peradaban lain adalah, peradaban Islam merupakan peradaban yang memperhatikan moral. Di saat peradaban Barat dibangun dengan dasar-dasar sekuler dan modernitas. Pada kenyataannya mereka memisahkan agama dan peradaban itulah yang menjadikan peradaban mereka sekuler. Jauh berbeda dengan peradaban Islam yang sangat memperhatikan moral dan karakter.

Akhlak; Cermin Kebaikan dan Kerusakan Manusia


Sedikit melirik keadaan Negara kita, ketika berupaya memperbaiki kerusakan moral masyarakat, membasmi dekadensi moral secara konstitusional melalui UU, sebagian kecil masyarakat Indonesia berupaya keras menolaknya. Anehnya, penolakan ini justru datang dari kelompok yang menamakan diri pembela perempuan, yang selama ini paling rentan terhadap pelecehan akhlak dan moral.

Masa-masa sekarang ini adalah periode paling memalukan dalam sejarah Indonesia, karena menutup aib dan rasa malu, dianggap bertentangan dengan HAM. Ketaatan terhadap agama dipandang sebagai kejahatan dan diskriminasi. Hampir seluruh kekuatan sekuler, anti agama bangkit menentang RUU Anti Pornografi dan pornoaksi. Celakanya DPR pun memberi ruang bagi kaum anti agama untuk mengekspresikan penolakannya ini. Dalam hal ini siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dengan terjadinya dekadensi moral dalam bangsa kita ?

Menyikapi hal tersebut, yang perlu disadari dan dipahami oleh setiap muslim adalah upaya yang harus dilakukan dalam menanamkan akhlak yang baik kepada generasinya sejak kecil, dengan memperhatikan seluruh pendidikan anaknya di dalam keluarganya, sekolahnya dan lingkungan sekitarnya, karena hal itu sangat penting dalam pembentukan karakteristik dan kepribadiannya. Demikian juga pengaruh dalam pergaulannya, yang mana membutuhkan seorang figur yang menjadi filter baginya dalam mengarungi kehidupannya.

Sebagaimana firmanNya 'Dan hendaklah ada diantara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung' (QS Ali Imran : 104).

Catatan Fina


Mo nanyak nih Om & Tante… apakah semua pengikut FPI mengerti syariat Islam?……






Saya rasa pemahaman mereka yang tidak proporsional tentang agama, baik karena kesalahan metodenya maupun karena kedangkalan ilmu agamanya. Dari segi metode, mereka yang cenderung memahami agama secara literal (dhahiry) misalnya, akan potensial menjadi pemeluk agama yang ekstrem. Lihat aja kasus razia di bulan ramadhan… Mereka bertindak keras terhadap warung-warung makan yang dianggap tidak menghormati bulan puasa.

Massa FPI menjadi beringas saat mengetahui ada tempat makan yang berjualan secara terbuka. Mereka merusak warung itu dan memukul seorang pelanggannya. Sedangkan sang pemilik tak bisa berbuat apa-apa.

warung-warung itu memang harus buka, sebab banyak orang yang tidak berpuasa, seperti non-Muslim, atau Muslim tapi musafir, sakit, hamil, dan tetap butuh makan. Bagi kita yang puasa, ya tak perlu lihat warung-warung itu. Penghargaan dan pahala puasa itu dari Allah, bukan dari tukang-tukang warung itu. Saya jadi kuatir, pemaksaan berlebihan agar orang lain menghargai yang sedang berpuasa.

Hendaknya mereka memperbaiki kembali pemahaman dan implementasi keislamannya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman yang subyektif individual harus diobyektivikasi sehingga konstruktif secara sosial.

Wallahu A'alam bi al-Sawwab

Harmonisasi Pemikiran


Pencarian orisinalitas cara pandang merupakan mekanisme yang harus diperhatikan di saat hendak melakukan harmonisasi pemikiran. Oleh karena itu, metodologi yang digunakan untuk merumuskan harmonisasi itu, harus dicarikan dari dalam tradisi kita sebelum menilik metodologi lain yang berada di luar tradisi tersebut. Konsepsi ini, dimaksudkan untuk memahami urgensi inofasi diri di saat melakukan harmonisasi atau interaksi. Lebih dari itu, hal tersebut juga akan memberikan pengertian bahwa setiap masa memiliki problemtika kekiniannya tersendiri, sehingga pembaharuan materi harmonisasi harus terus menerus dilakukan, seiring dengan perubahan problematika kekinian. Problematika kekinian harus dijadikan titik tolak dalam menentukan konsepsi harmonisasi. Artinya, transformasi pemikiran luar tidaklah menitik beratkan pada proses pentaklidan, melainkan dari proses penalaran yang matang.

Sebab-sebab terorisme



Sebutan muslim teroris, secara kategoris mengandung contradictio-interminis, karena sejatinya, seorang muslim bukanlah teroris. Karena Islam sangat jelas melarang terorisme maka idealnya seorang muslim tak mungkin menjadi teroris. Tapi pada faktanya, ada Abdul Azis alias Imam Samudra, Amrozi, dan kawan-kawannya.


Mengapa ada muslim yang menjadi teroris? Ada banyak sebab. Dari sudut pandang agama bisa dijawab dengan mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan segala kekurangan. Tentang kekurangan manusia banyak sekali disebutkan, baik dalam al-Quran maupun Hadits. Dalam satu ayat al-Quran misalnya disebutkan bahwa ketika manusia diciptakan Allah, sudah inheren dalam jiwanya dua potensi: (1) berbuat kebajikan (dimensi takwa); dan (2) berbuat kejahatan (dimensi fujur). Dan, seseorang yang sudah memeluk Islam pun, tak ada jaminan untuk bisa menghindarkan diri dari dimensi fujur, karena manusia memang tempatnya kesalahan dan kealpaan (mahal al-khatha wa al-nisyan). Bahkan Rasulullah yang ma’shum sekalipun, suatu ketika pernah berbuat kesalahan walaupun ringan. Itu yang pertama.

Kedua, seorang muslim juga bisa menjadi teroris karena pemahamannya yang tidak proporsional tentang agama, baik karena kesalahan metodenya maupun karena kedangkalan ilmu agamanya. Dari segi metode, mereka yang cenderung memahami agama secara literal (dhahiry) misalnya, akan potensial menjadi pemeluk agama yang ekstrem. Demikian juga yang dangkal (setengah-setengah) ilmu agamanya. (Baca, Dr. Yusuf Qardhawi, Islam Ekstrem: Analisa dan Pemecahannya, Bandung: Mizan, 1985). Di antara aspek agama yang paling sering ditafsirkan secara literal dan dangkal adalah konsep mengenai jihad fi sabilillah yang dianggap identik dengan aksi-aksi fisik seperti perang mengangkat pedang, senapan, atau meledakkan bom.

Selain itu, ketidakadilan politik global juga sangat potensial melahirkan teroris, termasuk dari kalangan muslim. Kebijakan politik dunia yang tidak adil terhadap beberapa negara muslim misalnya, telah menimbulkan perlawanan dari segenap muslim yang menyadari betul ketidakadilan itu. Sialnya, karena tidak berdaya melawan secara terang-terangan, ada di antaranya yang menempuh jalur inkonvensional, yakni dengan cara kekerasan dan teror. Jika Amrozi, Abdul Azis, dan kawan-kawan, sebagaimana diakui keduanya, merupakan perlawanan terhadap Amerika. Maka, teror yang ditempuh para smertniki Chechnya merupakan perlawanan terhadap Rusia.

Kalau memang demikian, cara yang paling proporsional untuk menghindari kemungkinan tindakan teror, bagi muslim adalah dengan cara memperbaiki kembali pemahaman dan implementasi keislamannya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman yang subyektif individual harus diobyektivikasi sehingga konstruktif secara sosial.

Sementara itu, bagi Amerika dan Rusia harus meninjau kembali dan memperbaiki kebijakan-kebijakan politik hubungan internasionalnya. Sayangnya, baik Amerika maupun Rusia (terutama Amerika) tampaknya tidak menyadari (atau pura-pura tidak tahu) adanya ketidakadilan dari kebijakan-kebijakan politik internasional yang ditempuhnya. Lantas, untuk menghapus terorisme, bukannya dengan cara memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ditempunya, malah dengan menempuh jalan pintas: menggalang kekuatan dan menyerukan perang terhadap terorisme.

Padahal, pada hakikatnya perang adalah teror juga. Perbedaan antara perang dan teror hanya sebatas prosedural. Yang pertama legal yang kedua ilegal. Pada faktanya sama saja, berupa pembantaian massal. Dan, karena pembantaian akan menimbulkan trauma dan dendam kesumat yang berkepanjangan maka, tampaknya, teror pun kemungkinan besar tidak atau belum akan lenyap dari muka bumi.

Manusia Primitif














Manusia primitif sangat mempercayai eksistensi alam ghaib. Ia bertingkah laku dengan nilai dan norma yang konon berasal dari Tuhan Sang Penguasa Alam. Hanya saja, karena tiada wahyu Tuhan yang menuntun mereka, sehingga terjerumus terhadap pencarian Tuhan yang keliru. Mereka mempercayai tempat-tempat keramat, dan bahkan mentuhankan benda. Namun dunia selalu berputar, waktu selalu berganti dan terus maju ke depan. Masa primitif diganti dengan zaman modern yang disuguhi dengan berbagai teknologi maju. Dari sini pemaknaan manusia terhadap suatu benda mengalami pergeseran. Termasuk di dalamnya pandangan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, norma dan nilai dalam kehidupan

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya.