Sembahyang Cinta Sang Ksatria


Pangeran Abimanyu baru saja pulang dari ngangsu kaweruh di padepokan Ampel Denta, di sebuah daerah yang jauh di wilayah tungtung wetan dayeuh panca tengah. Di padepokan itu Abimanyu banyak mendapatkan ilmu yang maha saketi. Di padepokan itu pula Abimanyu mendapat panah kalimasada, juga gelang candra kirana, sebagai pusaka utamanya. Siapa saja yang terkena panah pusaka itu maka badannya akan leleh, dan yang terkena pukulan gelang pusaka itu maka badannya akan remuk. Selain kesohor sebab ilmu dan kesaktiannya yang tak tertandingi, Abimanyu juga terkenal sebab ketampanannya. Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan Hastinapura, putra dari Arjuna.


Suatu hari Abimanyu menghadap ayahnya, Arjuna. Ia hendak mengutarakan sesuatu.


Abimanyu: Ayah, aku ingin mencari kekasih sejati


Arjuna: untuk apa, anakku?


Abimanyu: untuk kunikahi dan menjadi ibu atas anak-anakku, juga menjadi pendamping hidupku sampai ujung usiaku


Arjuna: hhmm ... hade, hade ... kekasih apa yang kau hendak cari itu anakku?


Abimanyu: perempuan sempurna, sekiranya, ayah ... layaknya seorang permaisuri khayangan


Arjuna: perempuan sempurna? Hhmm ... baik, baik, anakku, kalau itu memang maumu ... sekarang kau panjatlah bukit pinus di sebelah utara istana ini. Lalu kau bawakan untukku sebatang ranting dari pohon pinus yang paling tinggi ...


Abimanyu: untuk apa kau memerintahkanku demikian, ayah?


Arjuna: aku ingin mengajarimu falsafah kehidupan, agar kelak kau bisa menemukan kekasih sejatimu itu, nak ...


Abimanyu: dengan segala bakti, ayah ... aku laksanakan nasihat ayah ...


Abimanyu pun pergi ke bukit pinus di sebelah utara istana ... ia masuk bukit yang tak terlalu tinggi itu ... ia amati satu persatu pohon pinus itu ... ketika ia mulai memanjat, ia mendapati pohon yang tinggi, tetapi di depan sana ternyata ada lagi yang lebih tinggi, dan lebih ke atas lebih tinggi lagi, sampai akhirnya Abimanyu tak sadar, kalau ia telah turun dan keluar dari bukit pinus itu, sementara ia tidak mendapatkan satu batang ranting pohon pinus pun. Abimanyu pun pulang dengan tangan hampa. Ia lalu menghadap ayahnya.


Arjuna: bagaimana, anakku? Apakah kau mendapatkan apa yang aku minta?


Abimanyu: tidak, ayah


Arjuna: kenapa?


Abimanyu: [diam]


Arjuna: [tersenyum] ... begitulah hidup anakku. Jika kau selalu mengharapkan yang paling tinggi, yang sempurna, kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau cari dalam hidup ini. Begitu juga dalam perihal kekasih sejati, jika kau selamanya memakai logika mencari yang terbaik dan meninggalkan apa yang telah kau temukan sebelumnya, maka kau tidak akan pernah mendapatkan kesejatian cinta itu ...


Abimanyu: lalu apa yang harus aku lakukan, ayah?


Arjuna: baiklah anakku, sekarang kau masuklah kebun apel di sebelah timur istana ini ... lalu kau ambilkan sebuah apel dari pohon yang buahnya paling banyak


Abimanyu pun kembali mematuhi nasihat ayahnya. Ia memasuki kebun apel di sebelah timur istana. Di dalam kebun itu banyak berjejer pohon apel, buahnya pun lebat-lebat. Abimanyu tak mau ambil pusing. Sejenak ia beristikaharah, ia meminta kepada gusti Allah untuk diberi pilihan yang benar, sekalipun apa yang ia pilih itu bukan yang terbaik. Akhirnya abimanyu memutuskan untuk menentukan satu pohon apel yang akan diambil buahnya. Ia lalu pulang dengan membawa sebuah apel itu dan kembali menghadap ayahnya.


Arjuna: bagaimana, anaking?


Abimanyu: kuhaturkan kepadamu, ayah, sebuah apel dari pohon yang telah kupilih.


Arjuna: apakah ini adalah buah apel dari pohon yang buahnya paling lebat?


Abimanyu: tidak. Aku yakin di dalam kebun sana masih banyak pohon apel yang buahnya lebih lebat. Tetapi, bagaimanapun, ini adalah pilihanku.


Arjuna: [tersenyum] begitu juga dalam hidup, nak ..., dan ketika engkau hendak mencari kekasih sejati


Abimanyu: apa gerangan maksud ayah?


Arjuna: hhmm ... begini, nak ... kesejatian itu bukan terletak pada banyak dan lebatnya buah dari sebuah pohon. Tetapi, kesejatian itu justru berada dalam dirimu sendiri, yaitu sejauh mana kau berkomitmen dengan apa yang telah kamu pilih, dan bersama-sama dengannya untuk melakukan yang terbaik. Kau telah ambil satu buah apel. Dan, nak, dari biji apel yang telah kau ambil itulah kau memulai proses semuanya, kau memulainya dari awal, dari titik terkosong: mula-mula kau menanam biji itu, lalu biji itu pun tumbuh menjadi tunas, dari tunas itu kau dituntut untuk merawat dan menumbuhkannya secara seksama. Kau harus menyiraminya dengan air kebajikan dan kebenaran, dengan air ketakwaan, setiap saat, sampai akhirnya biji yang kau tanam itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh—tak mudah tumbang, juga berbuah dengan baik—bukan buah yang busuk. Lalu baru pada akhirnya, kau pun memetik buah itu.


Jangan heran, nak, kalau di tengah-tengah proses kau menanam pohon komitmen dan pohon kehidupan itu, badai dan topan terasa lebih banyak ditemukan. Ada saat2 tertentu ketika kekhilafanmu, atau mungkin badai cobaan itu mematahkan ranting atau merontokkan daun pohon komitmen dan pohon kehidupan yang sedang kau tanam. Jangan kau mencelanya, apalagi putus asa. Sebab selepas gugur daun, tunas harapan baru akan kembali tumbuh. Semua kehilafan yang ada adalah pelajaran hidup untukmu, agar kau bisa senantiasa memperbaiki diri. Begitu juga badai dan topan itu, nak, tak lain merupakan cobaan dan ujian atas kesejatian dan kesetiaanmu, yang ketika kau bisa melaluinya dengan sabar, kau akan dapat semakin mengerti arti kehidupan, dan semakin mengerti, bahwa Tuhan tengah mengajari dan sedang berbicara dengan kalian.


Nak, kesejatian hidup itu bukanlah terletak pada tujuan, tetapi pada proses. Dan tentu saja, nak, proses itu membutuhkan kesabaran ...


Abimanyu: [diam, meresapi kata-kata hikmah dari ayahnya]


Arjuna: begitu juga perihal kekasih sejati, anakku ... kekasih terbaik bukanlah orang yang terbaik secara apapun, tetapi kekasih yang bersamanya kau merajut komitmen, lalu bersama-sama menumbuhkan, menjaga, dan merawat cinta kalian dengan kesetiaan ... dari situlah kesejatian kasih akan kau temukan, nak ...


Abimanyu: [bersimpuh di pangkuan arjuna]


* * * * *


Abimanyu lalu bertapa, ia beristikaharah kepada Allah, untuk senantiasa diberi bimbingan dan petunjuk. Hingga di suatu malam, abimanyu mendapat sebuah petunjuk perihal sang kekasih sejati lewat mimpinya. Di mimpi itu abimanyu disuruh untuk menemui seorang zahid di gua Salabenda [hehehehehe, terserah deh nama guanya apaan]. Kelak, sang zahid Salabenda-lah yang akan menunjukkan siapa kekasih sejati Abimanyu.


* * * * *


Tiba-tiba, istana Hastinapura kedatangan seorang pangeran muda dari kerajaan Girinajasa. Saat itu, keadaan Girinajasa sedang kacau balau. Penguasa dan masyakaratnya rusak. pangeran muda itu mungkin satu-satunya yang peduli dengan keadaan wilayahnya. Tapi justru, si pangeran malah diserapahi dan terusir dari Girinajasa. Pangeran muda itu hendak memohon bantuan kerajaan Hastinapura untuk memperbaiki kondisi Girinajasa. Selain itu, beberapa hari yang lalu, Layangsambahyang yang menjadi kitab pusaka kerajaan Girinajasa hilang dicuri. Konon pencuri kitab pusaka itu sangat sakti. pihak utusan Girinajasa pun sekalian memohon bantuan pihak Hastinapura untuk menangkap pencuri itu. Apalagi pangeran Girinajasa juga telah mendengar kabar kembalinya Abimanyu, sang satria muda kesohor yang kesaktiannya tak tertandingi. Tamu utusan itu pun meminta bantuan abimanyu secara khusus.


[Tamu giri, Arjuna, dan Abimanyu berada di ruang penyambutan istana]


Tamu Giri: begini maksud kedatangan saya, yang mulia ... keadaan di wilayah kami sedang kacau balau. Orang-orang jadi rusak, baik penguasa atau rakyatnya. dan akhirnya hidup pun terasa demikian susah.


Arjuna: apa yang bisa kami bantu, saudaraku?


Tamu Giri: kami melihat keadaan di Hastinapura aman sentosa. Keadilan dan kebaikan seakan menjadi hal yang menyatu dalam kehidupannya. Kami ingin agar yang mulia sudi mengirimkan utusan untuk memperbaiki keadaan wilayah kami.


Arjuna: baiklah kalau begitu. Aku akan meminta tolong para ahli negara Hastinapura untuk berangkat ke sana ... tapi tentu saja, memperbaiki sebuah masyarakat apalagi negara tidaklah mudah dan cepat. Semua itu butuh waktu. Mungkin setahun dua tahun ...


Tamu Giri: siasat apa gerangan yang akan dijalankan oleh para ahli negara Hastinapura itu?


Arjuna: [gerpikir sejenak] dengan pengajen kesantren, dengan aji-aji kesantrian.


Tamu Giri: apa maksud semua itu, yang mulia?


Arjuna: kehidupan menjadi rusak sebab orang-orangnya yang rusak. manusia rusak sebab hati dan jiwa mereka yang juga rusak. hatilah pangkal segalanya. Jika ia baik, maka manusiapun akan baik, dan kehidupan pun akan terbawa baik. Begitu juga sebaliknya, ketika hati manusia rusak, maka kehidupan pun akan ikut menjadi rusak. para ahli negara nanti akan terlebih dahulu bersama2 memperbaiki hati orang-orang, sebelum kemudian memperbaiki sistem kenegaraan Girinajasa.


Tamu Giri: [mengangguk]


Arjuna: bukankah hati adalah cermin kita semua, saudara ...?


Tamu Giri: [kembali mengangguk] saya haturkan banyak-banyak terimakasih. Tapi, yang mulia, bolehkah saya menghaturkan satu permintaan lagi?


Arjuna: apa itu? Katakan saja. Barangkali kami juga bisa membantu ...


Tamu Giri: kitab pusaka Layangsambahyang dicuri. Padahal itu adalah kitab kramat, dan penuntun kehidupan. Sebelumnya aku mengharapkan kitab pusaka itu yang akan menjadi pertahanan terakhir dan pembaik keadaan Girinajasa.


Arjuna: hhmm ... siapa gerangan yang berani mencurinya?


Tamu Giri: seorang sakti mandraguna.


Arjuna: berani betul orang itu mencuri kitab pusaka ... baik, baik, mungkin anakku Abimanyu akan membantu saudara mengambil kembali kitab pusaka itu, sekaligus menangkap pencurinya ...


Abimanyu: kawula, rama ...


Tamu Giri: [berterimakasih]


Arjuna: begini saja. Ada baiknya kita tangkap dulu pencuri kitab pusaka itu. Sebab kitab itu kelak akan banyak membantu memperbaiki Girinajasa. Bagaimana kalau siang ini juga saudara dan Abimanyu berangkat mencari pencuri itu, dan mengambil kembali kitab Layangsambahyang?


Tamu Giri: baik, yang mulia ...


Arjuna: apakah kau mengetahui pencurinya?


Tamu giri: aku ingat betul, yang mulia, sebab kemarin akupun bertarung dengannya untuk mempertahankan kitab pusaka itu ...


Arjuna: baik, Abimanyu, segera kau bersiap-siap.siang ini juga kau dan saudara kita dari Girinajasa ini berangkat ...


Abimanyu: sendika dawuh, ayah ...


* * * * *


Abimanyu dan pangeran Girinajasa berangkat. Abimanyu tak lupa membawa senjata pusaknya: panah kalimasada dan gelang candra kirana.


[bersambung karena sayanya ngantuk ...]

Etika sebagai sebuah pedoman yang mengatur mekanisme hidup


Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan makhluk-makluk-Nya yang lain. Keistimewaan itu terletak pada adanya sebuah benda dalam organ tubuh manusia yang disebut dengan otak. Otak manusia memiliki fungsi untuk berfikir, menelaah, memahami dan menganalisa segala fenomena yang ditemui oleh lima panca indera manusia. Dalam dimensi lain, sedikit banyak sesungguhnya manusia memiliki sebuah potensi kemiripan dengan binatang dan tumbuhan. Yaitu sama-sama mengalami perkembangan organ tubuh, sama-sama bergerak dan tumbuh. Hewan misalnya, ia membutuhkan sebuah proses interaksi dengan seksama hewan agar bisa survive mengarungi kehidupan. Agar bisa berkembang biak, hewan memerlukan hewan lain dalam satu spesies untuk dibuahi sehingga kemudian muncul 'generasi penerus'. Yang membedakan hidup ala manusia dan hidup ala makhluk lainnya adalah bahwa dalam struktur kehidupan manusia, ada sebuah standar yang mengatur pola berhubungan dengan yang lain sehingga berjalan lebih teratur. Standar inilah yang disebut dengan etika.

Tidak bisa dibanyangkan bila kehidupan manusia yang kompleks dengan masalah ini, tidak diatur oleh sebuah etika ketuhanan. Barangkali dunia yang kita huni ini tidak akan jauh beda dengan hutan yang didiami oleh hewan-hewan dari berbagai habitat; yang kuat menindas yang lemah, yang besar memakan yang kecil dan lain sebagainya. Islam sangat menekankan pentingnya sebuah etika dan moralitas ketuhanan. Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR. Muslim)." Mazhab pemikiran materialis pada dasarnya juga meyakini urgensi sebuah etika kehidupan. Tapi sayangnya, bagi mereka, etika itu hanya berada pada ruang lingkup peraturan dan perundang-undangan yang diatur secara legal-formal an sich. Tidak lebih. Islam jelas berada pada posisi berseberangan dengan produk fikir seperti ini. Islam tidak membatasi etika dan permasalahan moral hanya pada dustur (undang-undang) resmi yang tertulis dan ada di buku-buku kompilasi perundang-undangan. Sebab, Islam meletakkan etika bukan hanya sebagai standar yang mengatur tatanan interaksi antar sesama manusia. Lebih dari itu, Islam memposisikan etika sebagai sebuah pedoman yang mengatur mekanisme hidup, mengatur bagaimana zahir dan batin manusia, mengatur hubungan manusia dari dua dimensi; vertikal dan horizontal. Dalam bahasa agama, etika ini disebut dengan 'akhlak'.

Perbincangan seputar barat dan timur memang seakan-akan tak ada habisnya. Setiap permasalahan yang terjadi di dunia timur seolah-olah selalu diidentikkan dengan barat sebagai penyebabnya. Kemerosotan moral yang menggejala di barat hendak dipaksakan agar juga berlaku di dunia timur. Ini sebenarnya tidak terlepas dari permasalahan hegemoni. Barat yang anti Tuhan atau paling tidak anti nilai-nilai ketuhanan, mau tidak mau harus diakui sedang berada pada posisi yang cukup menguntungkan bagi sebuah proses pemaksaan nilai-nilai kehidupan. Standar-standar ini sejalan dan erat berkaitan dengan diskursus seputar dua kata ‘kebaikan’ ‘dan keburukan’ itu sendiri, dirujuk dari sumber yang manakah; demikian terjadi baik dikalangan filosof muslim maupun barat. Definisi yang mendekati kesimpulan ranah diskursus di atas yaitu; bahwa kebaikan merupakan segala sesuatu yang bisa menghantarkan manusia kepada keinginan yang ia dambakan. Dirujuk kepada nalar atau instink yang dianugerahkan pada manusia seperti yang dikemukakan oleh kaum materialisme. Ataukah berpangkal dari bentuk fitrah yang sudah dialirkan oleh Allah pada diri manusia ketika awal penciptaannya; dengan tentu dikawal oleh syariat. Disinilah teori etika muslim mendapat poin tersendiri. Sebab segala tindakan seorang muslim diorientasikan seluruhnya pada Tuhan Yang Maha Absolut; yang Maha Bebas; bukan diorientasikan pada relativisme dunia yang belum tentu pasti arah penekanannya dalam suatu penilaian.

Maka secara umum bisa dibaca, barat meletakkan sebuah etika pada titik yang sulit dipahami(relativitas). Mana sebenarnya standar yang mereka pakai, sulit untuk dicari jawabannya. Hanya barangkali satu kata yang mewakilinya; kebebasan. Semua manusia bebas berkespresi; mereka boleh saja telanjang di muka umum asal mereka mau. Manusia boleh berpendapat dan mengeluarkan ide sekalipun itu mencederai perasaan orang lain. Barangkali, oleh karena itulah, sistem ekonomi yang berkembang di sana adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem politik yang mereka pakai adalah politik macheviali; tujuan menghalalkan segala cara.

Masalahnya kemudian, faham liberalisme seperti ini juga menggenjala di negara-negara timur (Islam). Nilai etika di Timur turut bergeser sesuai dengan standar barat. Sesuatu yang tadinya tidak biasa, seiring dengan dominasi Barat, telah menjadi makanan sehari-hari.

Berbeda dengan barat, Islam mengajarkan bahwa hidup manusia terikat dengan aturan al-Quran dan as-Sunnah. Manusia tidak boleh melanggar apa yang telah digariskan Allah dan Rasul di dalamnya (al-Baqarah: 229), (al-Nisa: 59), (al-Thalaq: 1). Dalam sebuah hadist disebutkan: "Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kamu semua berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan terpelosok ke dalam kesesatan selama-lamanya." Sejatinya, seorang muslim yang baik haruslah menyadari bahwa minhajul hayah-nya adalah al-Quran dan as-Sunnah, bukan budaya hedonis dan liberalis yang dipopulerkan barat. Timbangan baik dan buruk segala perbuatan manusia itu adalah al-Quran dan as-Sunnah semata. Oleh karenanya, etika yang dibawa oleh al-Quran dan as-Sunnah adalah sesuatu yang statis dan tidak berubah. Keluar dari dua hal ini, kerusakan akhlak dan dekadensi moral sudah pasti akan terjadi. WaAllahu a'lam bi al-shawâb.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya.