MENYOROT KEMANUSIAAN DALAM SEJARAH SOSIAL BARAT

Dalam pembacaan teori aksi-reaksi fisika, sebuah kepercayaan akan berangkat dari tesis kemudian beralih kepada anti-tesis dan berakhir pada sintesis. Hal yang sama terjadi pada masyarakat Barat. Masa renaissance, pencerahan atau enlightenment sendiri merupakan anti-tesis radikal dari hegemoni Gereja yang berlebihan. Dari masa enlightenment (Aufklarung, Jer) inilah Barat mulai mengembangkan dasar-dasar sains dan membangun kebudayaan yang lebih maju.


Hegemoni Gereja

Esensi dari peradaban barat adalah irreligius, demikian ungkapan Sayyid Quthb. Eropa tidak pernah ter-yahudi-kan atau ter-kristen-kan. Justru kedua agama tersebut menjadi korban irreligiusitas peradaban barat. Agama Yahudi yang dianut Bani Israil ternyata lebih menitikberatkan pada dimensi materi. Oleh karena itu, Allah Swt. mengutus nabi Isa as. untuk menyampaikan risalah-Nya kepada bani Israil dengan kitab Injil. Ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh nabi Isa ini bertujuan untuk melembutkan hal-hal yang sekiranya masih terlihat keras dalam Yahudi.

Namun setelah beberapa kurun, agama Kristen pun mengalami perubahan-perubahan fundamental. Perubahan terfatal adalah pergeseran akidah dari monoteis menjadi trinitas akibat campurtangan Agustinus, kaisar Romawi. Dengan konsili Nicea yang digelar pada tahun 325 M, para Uskup menyepakati kebenaran trinitas, meskipun dengan menyingkirkan Arius dan pengikutnya dari gelanggang konsili.

Agama Kristen yang cenderung mengutamakan segi ruhiyah berakibat pada pengkudusan para pendeta dan uskup. Mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Berkat legitimasi masyarakat sendiri, mereka praktis mempunyai akses dan kontrol yang luas atas kehidupan masyarakat hingga detailnya. Kegiatan ekonomi diawasi, hingga seorang raja pun tidak sah menduduki singgasana sebelum disetujui dan dilantik oleh pendeta. Kedudukan mereka bisa dikatakan lebih luas dari seorang raja.

Sejak Gereja Katolik Roma mendapatkan kekuasaannya pada awal abad pertengahan, fenomena bid’ah (heresy) dianggap sebagai musuh masyarakat. Ketika gerakan heresy menjamur pada abad ke-11 dan 12, Paus Gregory IX pada tahun 1231 membentuk dewan inkuisisi di bawah institusi kepausan. Institusi ini hanya beroperasi di wilayah Eropa utara. Baru setelah kaum muslim diusir dari Spanyol (Andalusia), kerajaan bagian Aragon dan Castile menerapkan inkuisisi terhadap sisa kaum muslim dan Yahudi dengan dalih persatuan keyakinan dan stabilitas politik. Inkusisi Spanyol direstui oleh Paus Sixtus IV pada 1478. Di Italia, inkusisi diresmikan oleh Paul III pada 1452 sebagai bentuk perang Gereja Katolik Roma terhadap gerakan Protestanisme.

Sejarah mencatat bahwa masa inkuisisi adalah puncak “kebrutalan” Gereja. Total ribuan orang disiksa tanpa peri-kemanusiaan dan dibakar hidup-hidup gara-gara tuduhan membuat bid’ah (heresy) atau dianggap membahayakan kedudukan Gereja. Namun Gereja dengan lihainya melakukan itu semua atas nama Tuhan dan Kristen. Masa kegelapan ini agaknya membuat masyarakat Eropa trauma terhadap intervensi agama dalam ruang politik dan sosial sehingga memantik reaksi balik berupa gerakan Renaissance.

Kebangkitan Eropa

Setiap aksi akan menimbulkan reaksi dengan kekuatan yang sama dalam arah yang berbeda. Trauma yang berkepanjangan ini akhirnya membuahkan reaksi berupa gerakan rasionalisasi dan modernisasi. Awalnya, kekuasaan gereja harus direduksi hingga batas privasi, hubungan antara manusia dan Tuhan dalam ibadah, tak lebih. Tak ada otoritas Gereja dalam kegiatan ekonomi apalagi politik.

Spirit kebangkitan renaissance pertama kali ditiupkan oleh para humanis yang giat menggali kekayaan tradisi Yunani kuno. Akar humanisme renaissance muncul dan mencapai puncaknya di Italia oleh Dante (1265-1321), Petrarch (1304-1374) dan Coluccio Salutati (1331-1406). Salutati yang juga menjabat penguasa Florence waktu itu membangun perpustakaan manuskrip sebagai rujukan. Jatuhnya Konstatinopel tahun 1453 di tangan Turki Utsmani menyebabkan banyak sarjana barat yang melarikan diri ke Italia sekaligus membawa literatur-literatur penting tradisi Yunani. Peristiwa ini mendorong kemajuan penelitian yang pesat.

Gerakan sekularisasi yang gencar didengungkan waktu itu menafikan kelayakan agama untuk campur tangan dalam urusan-urusan duniawi. Bahkan sekularisme total menyatakan bahwa alam adalah semata-mata materi. Tidak ada apapun di balik materi selain materi.

Akibatnya, agama tidak punya hak dalam penegakan sistem sosial Barat. Barat melepaskan diri dari ikatan nilai-nilai. Dr. Abdul Wahhab al-Masiry mengistilahkannya sebagai value free. Standar-standar nilai disandarkan pada logis. Efek value free ini mencolok pada perkembangan sains. Ketika Albert Einstein (1879-1955) mengungkapkan teori relativitas umum yang akhirnya dikembangkan untuk teknologi bom atom. Bentuk final bom tersebut dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, menghancurkan total 6,2 mil persegi tanah dan membunuh 105 ribu hingga 120 ribu jiwa dalam sekejap.

Tak ada yang mengontrol penggunaan kekuatan sains. Ketika otoritas agama dikesampingkan, sains dan teknologi tunduk di depan keinginan sang manusia, apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Abu al-Hasan al-Nadawi menyebut barat sedang bunuh diri sebab peperangan yang diciptakan dengan teknologi mereka sendiri. Al-Nadawi juga menyimpulkan bahwa kemajuan sains di Eropa tidak dibarengi kesiapan mental dan moral. Buktinya, sekitar seabad setelah Columbus menginjakkan kakinya di Amerika, tak kurang dari 95 juga penduduk asli benua tersebut dibantai oleh pendatang dari Eropa.

Fenomena yang terjadi sebagai konsekuensi hilangnya nilai dalam sistem sosial kita lihat ketika lembaga pernikahan tidak lagi sakral, ia hanya menjadi semacam formalitas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dipaksakan untuk melalaikan kedudukan sebagai ibu rumah tangga oleh gerakan feminisme radikal. Sementara aroma rasisme masih amat terasa di Barat. Hitler menegakkan panji-panji suku Aria. Sedang bangsa kulit hitam menjadi kelas kedua di Eropa.

Ideologi rasis mendapat pembenaran saintifik dan mencapai masa puncaknya saat Francis Galton dan Herbert Spencer mengemukakan ide mengenai sifat bawaan dalam superioritas ras kelas atas. Dalam bukunya Hereditary Genius (1869), Galton membeberkan statistik tak berimbang antara jumlah tokoh terkemuka dan jumlah masyarakat kelas atas. Spencer memadukan kerangka evolusi biologis dan perkembangan sosial. Spencer sependirian dengan Darwin dalam proses seleksi alam, lalu menerapkannya dalam kajian sosial. Ras kelas bawah yang jelas tidak dapat bersaing dalam sosial dan ekonomi lambat laun akan lenyap. Karena itu Spencer menentang kedermawanan, undang-undang perburuhan anak, hak-hak perempuan, serta pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Ide ini kemudian disebut Darwinisme sosial. (Encyclopaedia Britannica 2008. Entry: Race)

Galton yang juga sepupu Charles Darwin mengembangkan teori eugenik dan diterima oleh Haeckel, seorang ilmuwan zoologi evolusionis di Jerman. Haeckel menyarankan agar bayi-bayi cacat dibunuh, begitu juga dengan penderita kusta dan kanker karena keberadaan mereka hanya akan memperlambat proses evolusi. Selepas meninggalnya Haeckel tahun 1919, Hitler mengadopsi ide ini dan menerapkan kebijakan rasisme.

Pasca Perang Dunia

Pelanggaran HAM paling banyak terjadi pada perang dunia pertama dan kedua. Jumlah korban jiwa pada Perang Dunia pertama sekitar 10 juta jiwa. Sedang pada perang dunia kedua, angka tersebut membengkak menjadi 55 juta jiwa. Sebagai respon terhadap pelanggaran ini, pada tahun 1946, PBB membentuk Comission on Human Rights, komisi khusus yang menangani hak asasi manusia. Komisi yang pertama dipimpin oleh Eleanor Roosevelt ini dibentuk untuk membangun kesepakatan terhadap isu-isu dunia berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), kebebasan sipil, kedudukan perempuan, kebebasan informasi, perlindungan terhadap minoritas, serta upaya pencegahan diskriminasi berdasar ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Komisi ini juga menyiapkan draf Universal Declaration of Human Rights yang disepakati Majelis Umum PBB tahun 1948.

Namun Abdul Wahhab al-Masiry menyebut istilah “perang dunia” sebagai jebakan. Perang tersebut tidak melibatkan seluruh negara di dunia, melainkan hanya sebagian kecil. Dan pihak-pihak yang terlibat didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Menurut al-Masiry, istilah “perang dunia” merupakan cerminan cara pandang Barat yang cenderung menafikan eksistensi negara-negara kecil.

Berangkat dari pandangan ini, kedua perang dunia dan pelanggaran HAM dapat dibaca sebagai tanggungjawab barat yang mencoba ditebus dengan Universal Declaration of Human Rights. Rumusan hak-hak asasi manusia yang dilegalisasi oleh deklarasi tersebut menandakan kesadaran dunia akan pentingnya penghargaan terhadap kemanusiaan.

Namun di lapangan, penerapan deklarasi tersebut masih jauh api dari panggang. Diskriminasi atas nama ras, suku dan agama masih menjadi pemandangan yang jamak. Kebencian Eropa terhadap bangsa Turki diwarisi oleh gerakan Neo-Nazi di Jerman. Neo-Nazi melancarkan serangan atas warga Turki di Möln pada November 1922. Setahun setelahnya, Neo-Nazi membakar lima warga Turki di Solingen. Media menggambarkan tragedi ini sebagai tindakan rasis yang paling berdarah semenjak jatuhnya Hitler.

Keberadaan Ku Klux Klan di Amerika masih menjadi momok bagi kulit hitam. Reaksi berlebihan yang ditunjukkan dunia Barat pasca runtuhnya WTC. Atau resistensi masyarakat sekular Turki dua tahun lalu terhadap pencalonan Teyyep Recep Erdogan sebagai perdana menteri dan Abdullah Gul sebagai presiden “hanya” karena dua putri Erdogan menolak mencopot jilbab untuk masuk universitas di Turki dan istri Gul, Hairunnisa, memakai jilbab.

Sederet peristiwa yang terjadi di barat patut menjadi bahan renungan. Kejadian serupa tak seharusnya terjadi di negara-negara muslim. Karena Islam telah menjamin persamaan hak manusia. Sudah semestinya umat Islam menjadi contoh bagi penghargaan kemanusiaan yang terefleksikan dalam pola pergaulan dan sistem sosial yang rabbani. Karena Islam turun sebagai rahmatan li al-‘âlamîn. Wa’Llâhu a‘lam bi al-shawâb.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya.