MENYOROT KEMANUSIAAN DALAM SEJARAH SOSIAL BARAT

Dalam pembacaan teori aksi-reaksi fisika, sebuah kepercayaan akan berangkat dari tesis kemudian beralih kepada anti-tesis dan berakhir pada sintesis. Hal yang sama terjadi pada masyarakat Barat. Masa renaissance, pencerahan atau enlightenment sendiri merupakan anti-tesis radikal dari hegemoni Gereja yang berlebihan. Dari masa enlightenment (Aufklarung, Jer) inilah Barat mulai mengembangkan dasar-dasar sains dan membangun kebudayaan yang lebih maju.


Hegemoni Gereja

Esensi dari peradaban barat adalah irreligius, demikian ungkapan Sayyid Quthb. Eropa tidak pernah ter-yahudi-kan atau ter-kristen-kan. Justru kedua agama tersebut menjadi korban irreligiusitas peradaban barat. Agama Yahudi yang dianut Bani Israil ternyata lebih menitikberatkan pada dimensi materi. Oleh karena itu, Allah Swt. mengutus nabi Isa as. untuk menyampaikan risalah-Nya kepada bani Israil dengan kitab Injil. Ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh nabi Isa ini bertujuan untuk melembutkan hal-hal yang sekiranya masih terlihat keras dalam Yahudi.

Namun setelah beberapa kurun, agama Kristen pun mengalami perubahan-perubahan fundamental. Perubahan terfatal adalah pergeseran akidah dari monoteis menjadi trinitas akibat campurtangan Agustinus, kaisar Romawi. Dengan konsili Nicea yang digelar pada tahun 325 M, para Uskup menyepakati kebenaran trinitas, meskipun dengan menyingkirkan Arius dan pengikutnya dari gelanggang konsili.

Agama Kristen yang cenderung mengutamakan segi ruhiyah berakibat pada pengkudusan para pendeta dan uskup. Mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Berkat legitimasi masyarakat sendiri, mereka praktis mempunyai akses dan kontrol yang luas atas kehidupan masyarakat hingga detailnya. Kegiatan ekonomi diawasi, hingga seorang raja pun tidak sah menduduki singgasana sebelum disetujui dan dilantik oleh pendeta. Kedudukan mereka bisa dikatakan lebih luas dari seorang raja.

Sejak Gereja Katolik Roma mendapatkan kekuasaannya pada awal abad pertengahan, fenomena bid’ah (heresy) dianggap sebagai musuh masyarakat. Ketika gerakan heresy menjamur pada abad ke-11 dan 12, Paus Gregory IX pada tahun 1231 membentuk dewan inkuisisi di bawah institusi kepausan. Institusi ini hanya beroperasi di wilayah Eropa utara. Baru setelah kaum muslim diusir dari Spanyol (Andalusia), kerajaan bagian Aragon dan Castile menerapkan inkuisisi terhadap sisa kaum muslim dan Yahudi dengan dalih persatuan keyakinan dan stabilitas politik. Inkusisi Spanyol direstui oleh Paus Sixtus IV pada 1478. Di Italia, inkusisi diresmikan oleh Paul III pada 1452 sebagai bentuk perang Gereja Katolik Roma terhadap gerakan Protestanisme.

Sejarah mencatat bahwa masa inkuisisi adalah puncak “kebrutalan” Gereja. Total ribuan orang disiksa tanpa peri-kemanusiaan dan dibakar hidup-hidup gara-gara tuduhan membuat bid’ah (heresy) atau dianggap membahayakan kedudukan Gereja. Namun Gereja dengan lihainya melakukan itu semua atas nama Tuhan dan Kristen. Masa kegelapan ini agaknya membuat masyarakat Eropa trauma terhadap intervensi agama dalam ruang politik dan sosial sehingga memantik reaksi balik berupa gerakan Renaissance.

Kebangkitan Eropa

Setiap aksi akan menimbulkan reaksi dengan kekuatan yang sama dalam arah yang berbeda. Trauma yang berkepanjangan ini akhirnya membuahkan reaksi berupa gerakan rasionalisasi dan modernisasi. Awalnya, kekuasaan gereja harus direduksi hingga batas privasi, hubungan antara manusia dan Tuhan dalam ibadah, tak lebih. Tak ada otoritas Gereja dalam kegiatan ekonomi apalagi politik.

Spirit kebangkitan renaissance pertama kali ditiupkan oleh para humanis yang giat menggali kekayaan tradisi Yunani kuno. Akar humanisme renaissance muncul dan mencapai puncaknya di Italia oleh Dante (1265-1321), Petrarch (1304-1374) dan Coluccio Salutati (1331-1406). Salutati yang juga menjabat penguasa Florence waktu itu membangun perpustakaan manuskrip sebagai rujukan. Jatuhnya Konstatinopel tahun 1453 di tangan Turki Utsmani menyebabkan banyak sarjana barat yang melarikan diri ke Italia sekaligus membawa literatur-literatur penting tradisi Yunani. Peristiwa ini mendorong kemajuan penelitian yang pesat.

Gerakan sekularisasi yang gencar didengungkan waktu itu menafikan kelayakan agama untuk campur tangan dalam urusan-urusan duniawi. Bahkan sekularisme total menyatakan bahwa alam adalah semata-mata materi. Tidak ada apapun di balik materi selain materi.

Akibatnya, agama tidak punya hak dalam penegakan sistem sosial Barat. Barat melepaskan diri dari ikatan nilai-nilai. Dr. Abdul Wahhab al-Masiry mengistilahkannya sebagai value free. Standar-standar nilai disandarkan pada logis. Efek value free ini mencolok pada perkembangan sains. Ketika Albert Einstein (1879-1955) mengungkapkan teori relativitas umum yang akhirnya dikembangkan untuk teknologi bom atom. Bentuk final bom tersebut dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, menghancurkan total 6,2 mil persegi tanah dan membunuh 105 ribu hingga 120 ribu jiwa dalam sekejap.

Tak ada yang mengontrol penggunaan kekuatan sains. Ketika otoritas agama dikesampingkan, sains dan teknologi tunduk di depan keinginan sang manusia, apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Abu al-Hasan al-Nadawi menyebut barat sedang bunuh diri sebab peperangan yang diciptakan dengan teknologi mereka sendiri. Al-Nadawi juga menyimpulkan bahwa kemajuan sains di Eropa tidak dibarengi kesiapan mental dan moral. Buktinya, sekitar seabad setelah Columbus menginjakkan kakinya di Amerika, tak kurang dari 95 juga penduduk asli benua tersebut dibantai oleh pendatang dari Eropa.

Fenomena yang terjadi sebagai konsekuensi hilangnya nilai dalam sistem sosial kita lihat ketika lembaga pernikahan tidak lagi sakral, ia hanya menjadi semacam formalitas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dipaksakan untuk melalaikan kedudukan sebagai ibu rumah tangga oleh gerakan feminisme radikal. Sementara aroma rasisme masih amat terasa di Barat. Hitler menegakkan panji-panji suku Aria. Sedang bangsa kulit hitam menjadi kelas kedua di Eropa.

Ideologi rasis mendapat pembenaran saintifik dan mencapai masa puncaknya saat Francis Galton dan Herbert Spencer mengemukakan ide mengenai sifat bawaan dalam superioritas ras kelas atas. Dalam bukunya Hereditary Genius (1869), Galton membeberkan statistik tak berimbang antara jumlah tokoh terkemuka dan jumlah masyarakat kelas atas. Spencer memadukan kerangka evolusi biologis dan perkembangan sosial. Spencer sependirian dengan Darwin dalam proses seleksi alam, lalu menerapkannya dalam kajian sosial. Ras kelas bawah yang jelas tidak dapat bersaing dalam sosial dan ekonomi lambat laun akan lenyap. Karena itu Spencer menentang kedermawanan, undang-undang perburuhan anak, hak-hak perempuan, serta pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Ide ini kemudian disebut Darwinisme sosial. (Encyclopaedia Britannica 2008. Entry: Race)

Galton yang juga sepupu Charles Darwin mengembangkan teori eugenik dan diterima oleh Haeckel, seorang ilmuwan zoologi evolusionis di Jerman. Haeckel menyarankan agar bayi-bayi cacat dibunuh, begitu juga dengan penderita kusta dan kanker karena keberadaan mereka hanya akan memperlambat proses evolusi. Selepas meninggalnya Haeckel tahun 1919, Hitler mengadopsi ide ini dan menerapkan kebijakan rasisme.

Pasca Perang Dunia

Pelanggaran HAM paling banyak terjadi pada perang dunia pertama dan kedua. Jumlah korban jiwa pada Perang Dunia pertama sekitar 10 juta jiwa. Sedang pada perang dunia kedua, angka tersebut membengkak menjadi 55 juta jiwa. Sebagai respon terhadap pelanggaran ini, pada tahun 1946, PBB membentuk Comission on Human Rights, komisi khusus yang menangani hak asasi manusia. Komisi yang pertama dipimpin oleh Eleanor Roosevelt ini dibentuk untuk membangun kesepakatan terhadap isu-isu dunia berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), kebebasan sipil, kedudukan perempuan, kebebasan informasi, perlindungan terhadap minoritas, serta upaya pencegahan diskriminasi berdasar ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Komisi ini juga menyiapkan draf Universal Declaration of Human Rights yang disepakati Majelis Umum PBB tahun 1948.

Namun Abdul Wahhab al-Masiry menyebut istilah “perang dunia” sebagai jebakan. Perang tersebut tidak melibatkan seluruh negara di dunia, melainkan hanya sebagian kecil. Dan pihak-pihak yang terlibat didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Menurut al-Masiry, istilah “perang dunia” merupakan cerminan cara pandang Barat yang cenderung menafikan eksistensi negara-negara kecil.

Berangkat dari pandangan ini, kedua perang dunia dan pelanggaran HAM dapat dibaca sebagai tanggungjawab barat yang mencoba ditebus dengan Universal Declaration of Human Rights. Rumusan hak-hak asasi manusia yang dilegalisasi oleh deklarasi tersebut menandakan kesadaran dunia akan pentingnya penghargaan terhadap kemanusiaan.

Namun di lapangan, penerapan deklarasi tersebut masih jauh api dari panggang. Diskriminasi atas nama ras, suku dan agama masih menjadi pemandangan yang jamak. Kebencian Eropa terhadap bangsa Turki diwarisi oleh gerakan Neo-Nazi di Jerman. Neo-Nazi melancarkan serangan atas warga Turki di Möln pada November 1922. Setahun setelahnya, Neo-Nazi membakar lima warga Turki di Solingen. Media menggambarkan tragedi ini sebagai tindakan rasis yang paling berdarah semenjak jatuhnya Hitler.

Keberadaan Ku Klux Klan di Amerika masih menjadi momok bagi kulit hitam. Reaksi berlebihan yang ditunjukkan dunia Barat pasca runtuhnya WTC. Atau resistensi masyarakat sekular Turki dua tahun lalu terhadap pencalonan Teyyep Recep Erdogan sebagai perdana menteri dan Abdullah Gul sebagai presiden “hanya” karena dua putri Erdogan menolak mencopot jilbab untuk masuk universitas di Turki dan istri Gul, Hairunnisa, memakai jilbab.

Sederet peristiwa yang terjadi di barat patut menjadi bahan renungan. Kejadian serupa tak seharusnya terjadi di negara-negara muslim. Karena Islam telah menjamin persamaan hak manusia. Sudah semestinya umat Islam menjadi contoh bagi penghargaan kemanusiaan yang terefleksikan dalam pola pergaulan dan sistem sosial yang rabbani. Karena Islam turun sebagai rahmatan li al-‘âlamîn. Wa’Llâhu a‘lam bi al-shawâb.

Memanjangkan Umur Bumi!



Islam datang dan memperkenalkan dirinya sebagai gelombang rahmatan lil 'alamin. Agama yang mengajarkan konsep integral akan kehidupan manusia, mulai dari akhlak(moral), teologi, poleksosbud, lingkungan dan aspek lain penunjang kelangsungan peradaban manusia. Manusia dan makhluk lainnya adalah satu kesatuan sistem hidup, butuh dan tergantung pada alam lingkungannya. Namun, akhir-akhir ini manusia kian aktif mengambil langkah-langkah yang cenderung merusak bahkan menghancurkan lingkungan demi sebuah aksioma kerakusan individu. Data dari para peneliti populasi masyarakat dunia menunjukan, bahwa 40 persen populasi dunia mengalami kekurangan air dan 16 persen dari lahan pertanian di dunia tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sehingga sebagian petani kehilangan hasil produktifitasnya. Sumber terjadinya kerusakan alam dan lingkungan tak lain bersumber dari cara pandang manusia itu sendiri terhadap alam. Manusia yang berpandangan oportunis, alam adalah sebuah barang dagangan yang menghasilkan banyak keuntungan. Sehingga cara dan jalan apapun ditempuh untuk menguasainya. Berbeda dengan manusia yang humanis-relijius, yang memandang alam dan lingkungan hidup adalah berdampingan dan saling membutuhkan; harus dirawat dan dijaga dari berbagai ancaman yang merusak. Lingkungan adalah titipan Tuhan.

Di sela-sela perbincangan mengenai alam dan lingkungan, muncul wacana segar yang mengkaitkan teologi agama-agama samawi dan upaya pencegahan kerusakan alam. Sebab seluruh agama samawi mendoktrinkan hal yang sama; mengecam perusak segala nikmat serta karunia Tuhan Yang Maha Kreatif. Dinyatakan, bahwa bumi dan semua isinya diciptakan Tuhan untuk umat manusia, dalam al-Quran al-Baqarah ayat 29, Allah Swt. berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi hak untuk memanfaatkan dan mengelola alam, namun juga diwajibkan untuk menjaga kelestariannya.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya. Apa guna doktrin keagamaan jika manusia bersih keras berlumur sikap egois. Tak hanya itu, Islam juga menyeru manusia untuk menanami bumi dengan tetumbuhan yang bermanfaat. Dalam perspektif Islam, bertani atau bercocok tanam adalah pekerjaan yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang memakmurkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Imam Jafar Shadiq r.a. berhikmah, “kehidupan tidak akan bahagia bila tidak ada tiga hal, yaitu udara yang bersih, air yang banyak, dan tanah yang gembur.” Maka mari kita ikut berperan aktif memanjangkan umur bumi! Sapere Aude!.

Bagaimana Barat Memandang Islam

Edward Said, dalam Orientalism, menuturkan bahwa hanya Islam yang pernah mengguncang supermasi Eropa sebanyak dua kali. Yang pertama, sejak paruh abad ke delapan Masehi, Islam telah menduduki beberapa wilayah kekaisaran Byzantium, yaitu Anatolia, Mediterania Timur atau Syam (Syria, Jerusalem, Jordan dan Leban), Memphis dan Alexandria (Mesir), Tripoli (Lybia), dan Cartagena (Tunis), serta merubuhkan kerajaan Visigotic yang menguasai Hispania (Andalus). Laut tengah (serta gugusan kepulauannya: Baleric, Sirdinia, Malta, Sisilia, Kreta, dan Cyprus) yang sejatinya menjadi kekuasaan Byzantium beralih dikuasai oleh Arab-Muslim. Dan yang kedua, terjadi di abad 16-17, yaitu ketika dinasti Turki-Utsmani (Ottoman) meruntuhkan ibukota Byzantium (Constantinople) di Bosphorus, lalu dengan cepat mengekspansi Yunani, Eropa Tenggara (Balkan), Hungaria, bahkan menembus benteng kekaisaran Austria di Vienna.

Kejadian di atas memberikan pengalaman tersendiri bagi Eropa (baca: Barat). Islam mewujud sebagai sebuah agama agung, imperium dan peradaban adiluhung sekaligus, yang bersejajar (untuk tidak dikatakan rival) dengan Eropa yang menganut Kristen, juga sebagai imperium dan peradaban luhur. Orang-orang Eropa menganggap, menafsirkan, dan mengetahui Islam dengan pelbagai sudut pandang, yang terus berubah dari masa ke masa, mulai dari yang sinis sampai apresiatif-obyektif.

* * * * *
Mula-mula, orang Eropa menganggap Islam sebagai agama heretik buatan Muhammad yang ajaran-ajarannya menjiplak dari kitab Injil. Orang-orang Muslim tidak menyembah Allah, tetapi menyembah Muhammad. Mereka juga membuat patung-patung Muhammad yang disembah terlebih dahulu sebelum shalat. Muhammad membuat bid'ah dengan tujuan ingin mendirikan imperium Arab yang kelak menguasai Persia, Timur Tengah, dan Romawi (Byzantium).

Pelbagai pandangan di atas adalah gambaran orang Eropa atas Islam, setidaknya hingga akhir abad ke sebelas. Pandangan tersebut lebih disebabkan karena informasi tentang Islam yang sampai ke Eropa memang salah kaprah dan tidak ilmiah. Puncak dari pandangan tersebut adalah meledaknya perang salib. Kaisar Byzantium dan Paus Roma menitahkan perang suci untuk melawan "musuh-musuh Tuhan" yang telah mentahrif Injil dan merampas tanah suci Jerusalem dan wilayah christiandom lainnya.

Keberadaan Islam di Andalus (Hispania) rupanya sedikit banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Eropa terhadap Islam. Islam justeru menyulut obor peradaban di Andalus, yang menjadikannya sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia kala itu. Beberapa orang Eropa banyak yang belajar di lembaga keilmuan Islam-Andalus. Mereka pun menerjemahkan pelbagai literatur Arab-Islam ke dalam bahasa Latin (bahasa resmi Eropa kala itu).

Untuk pertamakalinya, al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143 oleh seorang sarjana Spanyol bernama Robertus Ketenessis. Terjemahan ini dicetak empat ratus tahun kemudian (1616) di Bazil, Swiss, dibawah sponsor lembaga keilmuan Bibliander, lalu menyusul diterjemahkan dan dicetak dalam bahasa Jerman, Italia, dan Belanda. Masa penerjemahan al-Qur'an ini juga berbarengan dengan diterjemahkannya pelbagai literatur Arab-Islam ke dalam bahasa Latin secara besar-besaran (Michael Juha, Islamic and Arabic Studies in Europe, 1992).

Paska penerjemahan di atas, anggapan orang Eropa sedikit banyak mulai berubah ke arah yang lebih baik, sekalipun tercampur dengan ketakutan yang semakin menjadi-jadi atas Islam, tepatnya ketika pasukan Turki-Utsmani mengekspansi Yunani, Balkan, Hungaria, dan Vienna (Austria) pada abad ke-17. Sayangnya memang, orang-orang Turki bertangan dingin. Mereka memerintah dengan gaya warisan Mongol. Sejarah menceritakan, jika wilayah-wilayah Islam yang diperintah pada masa Turki-Utsmani saja kurang bernasib baik, apalagi wilayah non-Muslim. Kesan Islam yang tergambar di Eropa pada akhirnya justeru dominan dipengaruhi oleh Turki.

Satu abad kemudian, Henri de Boulavin Villers (w. 1722) menulis buku tentang sejarah nabi Muhammad dan Islam secara obyektif, yang menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima oleh nalar, jauh dari pada Kristen. Henri juga menyatakan jika agama Islam bukan agama Turki. Jika orang Eropa membaca dan memahami makna satu surat al-Qur'an saja, maka mereka akan segera tahu jika Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai budi. Pada abad ini juga ditulis kamus bahasa Arab dalam bahasa-bahasa Eropa.

Giliran abad ke-18. Pandangan Eropa terhadap Islam pun terus berubah. George Sale (w. 1736), menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris secara lebih okyektif. Begitu juga John Wolfgang von Gothe (w. 1832), yang menerjemahkan ulang al-Qur'an ke dalam bahasa Jerman secara lebih obyektif pula. Gothe dipercaya sebagai sosok yang banyak mengikis persepsi buruk Eropa (khususnya Jerman) terhadap Islam.

Di abad ke-19, kajian keislaman di Eropa semakin marak. Johann Jacob Reiske (w. 1773) memasukkan kajian sastra dan sejarah Islam ke dalam kajian sastra dan sejarah dunia. Begitu juga Joseph von Hammer Purgstalls (w. 1856), yang mengkaji dan menerjemahkan beberapa literatur kunci dari bahasa Arab, Persia, Turki, dan India ke dalam bahasa Jerman. Disusul kemudian oleh Karl Brocklmann, yang menulis ensiklopedi sejarah peradaban Arab setebal sebelas jilid (1895), juga Leon Caetani (w. 1926) yang menulis sejarah Islam dan biografi sarjana Muslim dalam bahasa Italia, dan Rinhart Ann Dozy, yang menulis sejarah Islam di Spanyol serta pengaruh Islam kepada Eropa dalam bahasa Belanda dan Spanyol.

Abad dua puluh bisa jadi menjadi puncak kajian Islam di Eropa, utamanya paska perang dunia II. Tidak dapat dinafikan memang, jika di abad sebelumnya motif Islamologi dan Orientalisme masih banyak diselimuti hawa imperialisme, kolonialisme, bahkan kristenisasi. Maka di akhir abad ini, motif tersebut mulai menguap. Beberapa Islamolog dan Orientalis semakin banyak yang mengkaji Islam (dan Timur) secara lebih obyektif. Beberapa nama semisal Henri Corbin, Pierre Lourie, Annemarie Schimmel, Roger Garaudy, Albert Hourani, Edward Said, Gustaff Lobon, John L. Esposito, dan lain-lain adalah para sarjana yang membalik kesan buruk Barat atas Islam.

Peristiwa atraktif WTC dan Pentagon di paruh mula abad 21 kembali mempengaruhi pandangan orang Barat atas Islam. Pada satu sisi, Islam "dikambinghitamkan" sebagai teroris dunia dan musuh manusia. Sebagian orang Barat pun banyak yang terpengaruh oleh stigma ini. Tetapi justeru, sebagian yang lain dari mereka menjadi penasaran dan "tertarik" untuk mengkaji Islam secara lebih jauh. Diharapkan, dengan "ketertarikan untuk mengkaji Islam lebih jauh" ini, orang-orang Barat dapat semakin lebih okyektif memandang Islam, sehingga tiba saatnya ketika yadkhulûn-a fî dîn-i-llâh-i afwâj-â. Semoga.

Sembahyang Cinta Sang Ksatria


Pangeran Abimanyu baru saja pulang dari ngangsu kaweruh di padepokan Ampel Denta, di sebuah daerah yang jauh di wilayah tungtung wetan dayeuh panca tengah. Di padepokan itu Abimanyu banyak mendapatkan ilmu yang maha saketi. Di padepokan itu pula Abimanyu mendapat panah kalimasada, juga gelang candra kirana, sebagai pusaka utamanya. Siapa saja yang terkena panah pusaka itu maka badannya akan leleh, dan yang terkena pukulan gelang pusaka itu maka badannya akan remuk. Selain kesohor sebab ilmu dan kesaktiannya yang tak tertandingi, Abimanyu juga terkenal sebab ketampanannya. Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan Hastinapura, putra dari Arjuna.


Suatu hari Abimanyu menghadap ayahnya, Arjuna. Ia hendak mengutarakan sesuatu.


Abimanyu: Ayah, aku ingin mencari kekasih sejati


Arjuna: untuk apa, anakku?


Abimanyu: untuk kunikahi dan menjadi ibu atas anak-anakku, juga menjadi pendamping hidupku sampai ujung usiaku


Arjuna: hhmm ... hade, hade ... kekasih apa yang kau hendak cari itu anakku?


Abimanyu: perempuan sempurna, sekiranya, ayah ... layaknya seorang permaisuri khayangan


Arjuna: perempuan sempurna? Hhmm ... baik, baik, anakku, kalau itu memang maumu ... sekarang kau panjatlah bukit pinus di sebelah utara istana ini. Lalu kau bawakan untukku sebatang ranting dari pohon pinus yang paling tinggi ...


Abimanyu: untuk apa kau memerintahkanku demikian, ayah?


Arjuna: aku ingin mengajarimu falsafah kehidupan, agar kelak kau bisa menemukan kekasih sejatimu itu, nak ...


Abimanyu: dengan segala bakti, ayah ... aku laksanakan nasihat ayah ...


Abimanyu pun pergi ke bukit pinus di sebelah utara istana ... ia masuk bukit yang tak terlalu tinggi itu ... ia amati satu persatu pohon pinus itu ... ketika ia mulai memanjat, ia mendapati pohon yang tinggi, tetapi di depan sana ternyata ada lagi yang lebih tinggi, dan lebih ke atas lebih tinggi lagi, sampai akhirnya Abimanyu tak sadar, kalau ia telah turun dan keluar dari bukit pinus itu, sementara ia tidak mendapatkan satu batang ranting pohon pinus pun. Abimanyu pun pulang dengan tangan hampa. Ia lalu menghadap ayahnya.


Arjuna: bagaimana, anakku? Apakah kau mendapatkan apa yang aku minta?


Abimanyu: tidak, ayah


Arjuna: kenapa?


Abimanyu: [diam]


Arjuna: [tersenyum] ... begitulah hidup anakku. Jika kau selalu mengharapkan yang paling tinggi, yang sempurna, kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau cari dalam hidup ini. Begitu juga dalam perihal kekasih sejati, jika kau selamanya memakai logika mencari yang terbaik dan meninggalkan apa yang telah kau temukan sebelumnya, maka kau tidak akan pernah mendapatkan kesejatian cinta itu ...


Abimanyu: lalu apa yang harus aku lakukan, ayah?


Arjuna: baiklah anakku, sekarang kau masuklah kebun apel di sebelah timur istana ini ... lalu kau ambilkan sebuah apel dari pohon yang buahnya paling banyak


Abimanyu pun kembali mematuhi nasihat ayahnya. Ia memasuki kebun apel di sebelah timur istana. Di dalam kebun itu banyak berjejer pohon apel, buahnya pun lebat-lebat. Abimanyu tak mau ambil pusing. Sejenak ia beristikaharah, ia meminta kepada gusti Allah untuk diberi pilihan yang benar, sekalipun apa yang ia pilih itu bukan yang terbaik. Akhirnya abimanyu memutuskan untuk menentukan satu pohon apel yang akan diambil buahnya. Ia lalu pulang dengan membawa sebuah apel itu dan kembali menghadap ayahnya.


Arjuna: bagaimana, anaking?


Abimanyu: kuhaturkan kepadamu, ayah, sebuah apel dari pohon yang telah kupilih.


Arjuna: apakah ini adalah buah apel dari pohon yang buahnya paling lebat?


Abimanyu: tidak. Aku yakin di dalam kebun sana masih banyak pohon apel yang buahnya lebih lebat. Tetapi, bagaimanapun, ini adalah pilihanku.


Arjuna: [tersenyum] begitu juga dalam hidup, nak ..., dan ketika engkau hendak mencari kekasih sejati


Abimanyu: apa gerangan maksud ayah?


Arjuna: hhmm ... begini, nak ... kesejatian itu bukan terletak pada banyak dan lebatnya buah dari sebuah pohon. Tetapi, kesejatian itu justru berada dalam dirimu sendiri, yaitu sejauh mana kau berkomitmen dengan apa yang telah kamu pilih, dan bersama-sama dengannya untuk melakukan yang terbaik. Kau telah ambil satu buah apel. Dan, nak, dari biji apel yang telah kau ambil itulah kau memulai proses semuanya, kau memulainya dari awal, dari titik terkosong: mula-mula kau menanam biji itu, lalu biji itu pun tumbuh menjadi tunas, dari tunas itu kau dituntut untuk merawat dan menumbuhkannya secara seksama. Kau harus menyiraminya dengan air kebajikan dan kebenaran, dengan air ketakwaan, setiap saat, sampai akhirnya biji yang kau tanam itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh—tak mudah tumbang, juga berbuah dengan baik—bukan buah yang busuk. Lalu baru pada akhirnya, kau pun memetik buah itu.


Jangan heran, nak, kalau di tengah-tengah proses kau menanam pohon komitmen dan pohon kehidupan itu, badai dan topan terasa lebih banyak ditemukan. Ada saat2 tertentu ketika kekhilafanmu, atau mungkin badai cobaan itu mematahkan ranting atau merontokkan daun pohon komitmen dan pohon kehidupan yang sedang kau tanam. Jangan kau mencelanya, apalagi putus asa. Sebab selepas gugur daun, tunas harapan baru akan kembali tumbuh. Semua kehilafan yang ada adalah pelajaran hidup untukmu, agar kau bisa senantiasa memperbaiki diri. Begitu juga badai dan topan itu, nak, tak lain merupakan cobaan dan ujian atas kesejatian dan kesetiaanmu, yang ketika kau bisa melaluinya dengan sabar, kau akan dapat semakin mengerti arti kehidupan, dan semakin mengerti, bahwa Tuhan tengah mengajari dan sedang berbicara dengan kalian.


Nak, kesejatian hidup itu bukanlah terletak pada tujuan, tetapi pada proses. Dan tentu saja, nak, proses itu membutuhkan kesabaran ...


Abimanyu: [diam, meresapi kata-kata hikmah dari ayahnya]


Arjuna: begitu juga perihal kekasih sejati, anakku ... kekasih terbaik bukanlah orang yang terbaik secara apapun, tetapi kekasih yang bersamanya kau merajut komitmen, lalu bersama-sama menumbuhkan, menjaga, dan merawat cinta kalian dengan kesetiaan ... dari situlah kesejatian kasih akan kau temukan, nak ...


Abimanyu: [bersimpuh di pangkuan arjuna]


* * * * *


Abimanyu lalu bertapa, ia beristikaharah kepada Allah, untuk senantiasa diberi bimbingan dan petunjuk. Hingga di suatu malam, abimanyu mendapat sebuah petunjuk perihal sang kekasih sejati lewat mimpinya. Di mimpi itu abimanyu disuruh untuk menemui seorang zahid di gua Salabenda [hehehehehe, terserah deh nama guanya apaan]. Kelak, sang zahid Salabenda-lah yang akan menunjukkan siapa kekasih sejati Abimanyu.


* * * * *


Tiba-tiba, istana Hastinapura kedatangan seorang pangeran muda dari kerajaan Girinajasa. Saat itu, keadaan Girinajasa sedang kacau balau. Penguasa dan masyakaratnya rusak. pangeran muda itu mungkin satu-satunya yang peduli dengan keadaan wilayahnya. Tapi justru, si pangeran malah diserapahi dan terusir dari Girinajasa. Pangeran muda itu hendak memohon bantuan kerajaan Hastinapura untuk memperbaiki kondisi Girinajasa. Selain itu, beberapa hari yang lalu, Layangsambahyang yang menjadi kitab pusaka kerajaan Girinajasa hilang dicuri. Konon pencuri kitab pusaka itu sangat sakti. pihak utusan Girinajasa pun sekalian memohon bantuan pihak Hastinapura untuk menangkap pencuri itu. Apalagi pangeran Girinajasa juga telah mendengar kabar kembalinya Abimanyu, sang satria muda kesohor yang kesaktiannya tak tertandingi. Tamu utusan itu pun meminta bantuan abimanyu secara khusus.


[Tamu giri, Arjuna, dan Abimanyu berada di ruang penyambutan istana]


Tamu Giri: begini maksud kedatangan saya, yang mulia ... keadaan di wilayah kami sedang kacau balau. Orang-orang jadi rusak, baik penguasa atau rakyatnya. dan akhirnya hidup pun terasa demikian susah.


Arjuna: apa yang bisa kami bantu, saudaraku?


Tamu Giri: kami melihat keadaan di Hastinapura aman sentosa. Keadilan dan kebaikan seakan menjadi hal yang menyatu dalam kehidupannya. Kami ingin agar yang mulia sudi mengirimkan utusan untuk memperbaiki keadaan wilayah kami.


Arjuna: baiklah kalau begitu. Aku akan meminta tolong para ahli negara Hastinapura untuk berangkat ke sana ... tapi tentu saja, memperbaiki sebuah masyarakat apalagi negara tidaklah mudah dan cepat. Semua itu butuh waktu. Mungkin setahun dua tahun ...


Tamu Giri: siasat apa gerangan yang akan dijalankan oleh para ahli negara Hastinapura itu?


Arjuna: [gerpikir sejenak] dengan pengajen kesantren, dengan aji-aji kesantrian.


Tamu Giri: apa maksud semua itu, yang mulia?


Arjuna: kehidupan menjadi rusak sebab orang-orangnya yang rusak. manusia rusak sebab hati dan jiwa mereka yang juga rusak. hatilah pangkal segalanya. Jika ia baik, maka manusiapun akan baik, dan kehidupan pun akan terbawa baik. Begitu juga sebaliknya, ketika hati manusia rusak, maka kehidupan pun akan ikut menjadi rusak. para ahli negara nanti akan terlebih dahulu bersama2 memperbaiki hati orang-orang, sebelum kemudian memperbaiki sistem kenegaraan Girinajasa.


Tamu Giri: [mengangguk]


Arjuna: bukankah hati adalah cermin kita semua, saudara ...?


Tamu Giri: [kembali mengangguk] saya haturkan banyak-banyak terimakasih. Tapi, yang mulia, bolehkah saya menghaturkan satu permintaan lagi?


Arjuna: apa itu? Katakan saja. Barangkali kami juga bisa membantu ...


Tamu Giri: kitab pusaka Layangsambahyang dicuri. Padahal itu adalah kitab kramat, dan penuntun kehidupan. Sebelumnya aku mengharapkan kitab pusaka itu yang akan menjadi pertahanan terakhir dan pembaik keadaan Girinajasa.


Arjuna: hhmm ... siapa gerangan yang berani mencurinya?


Tamu Giri: seorang sakti mandraguna.


Arjuna: berani betul orang itu mencuri kitab pusaka ... baik, baik, mungkin anakku Abimanyu akan membantu saudara mengambil kembali kitab pusaka itu, sekaligus menangkap pencurinya ...


Abimanyu: kawula, rama ...


Tamu Giri: [berterimakasih]


Arjuna: begini saja. Ada baiknya kita tangkap dulu pencuri kitab pusaka itu. Sebab kitab itu kelak akan banyak membantu memperbaiki Girinajasa. Bagaimana kalau siang ini juga saudara dan Abimanyu berangkat mencari pencuri itu, dan mengambil kembali kitab Layangsambahyang?


Tamu Giri: baik, yang mulia ...


Arjuna: apakah kau mengetahui pencurinya?


Tamu giri: aku ingat betul, yang mulia, sebab kemarin akupun bertarung dengannya untuk mempertahankan kitab pusaka itu ...


Arjuna: baik, Abimanyu, segera kau bersiap-siap.siang ini juga kau dan saudara kita dari Girinajasa ini berangkat ...


Abimanyu: sendika dawuh, ayah ...


* * * * *


Abimanyu dan pangeran Girinajasa berangkat. Abimanyu tak lupa membawa senjata pusaknya: panah kalimasada dan gelang candra kirana.


[bersambung karena sayanya ngantuk ...]

Etika sebagai sebuah pedoman yang mengatur mekanisme hidup


Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan makhluk-makluk-Nya yang lain. Keistimewaan itu terletak pada adanya sebuah benda dalam organ tubuh manusia yang disebut dengan otak. Otak manusia memiliki fungsi untuk berfikir, menelaah, memahami dan menganalisa segala fenomena yang ditemui oleh lima panca indera manusia. Dalam dimensi lain, sedikit banyak sesungguhnya manusia memiliki sebuah potensi kemiripan dengan binatang dan tumbuhan. Yaitu sama-sama mengalami perkembangan organ tubuh, sama-sama bergerak dan tumbuh. Hewan misalnya, ia membutuhkan sebuah proses interaksi dengan seksama hewan agar bisa survive mengarungi kehidupan. Agar bisa berkembang biak, hewan memerlukan hewan lain dalam satu spesies untuk dibuahi sehingga kemudian muncul 'generasi penerus'. Yang membedakan hidup ala manusia dan hidup ala makhluk lainnya adalah bahwa dalam struktur kehidupan manusia, ada sebuah standar yang mengatur pola berhubungan dengan yang lain sehingga berjalan lebih teratur. Standar inilah yang disebut dengan etika.

Tidak bisa dibanyangkan bila kehidupan manusia yang kompleks dengan masalah ini, tidak diatur oleh sebuah etika ketuhanan. Barangkali dunia yang kita huni ini tidak akan jauh beda dengan hutan yang didiami oleh hewan-hewan dari berbagai habitat; yang kuat menindas yang lemah, yang besar memakan yang kecil dan lain sebagainya. Islam sangat menekankan pentingnya sebuah etika dan moralitas ketuhanan. Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR. Muslim)." Mazhab pemikiran materialis pada dasarnya juga meyakini urgensi sebuah etika kehidupan. Tapi sayangnya, bagi mereka, etika itu hanya berada pada ruang lingkup peraturan dan perundang-undangan yang diatur secara legal-formal an sich. Tidak lebih. Islam jelas berada pada posisi berseberangan dengan produk fikir seperti ini. Islam tidak membatasi etika dan permasalahan moral hanya pada dustur (undang-undang) resmi yang tertulis dan ada di buku-buku kompilasi perundang-undangan. Sebab, Islam meletakkan etika bukan hanya sebagai standar yang mengatur tatanan interaksi antar sesama manusia. Lebih dari itu, Islam memposisikan etika sebagai sebuah pedoman yang mengatur mekanisme hidup, mengatur bagaimana zahir dan batin manusia, mengatur hubungan manusia dari dua dimensi; vertikal dan horizontal. Dalam bahasa agama, etika ini disebut dengan 'akhlak'.

Perbincangan seputar barat dan timur memang seakan-akan tak ada habisnya. Setiap permasalahan yang terjadi di dunia timur seolah-olah selalu diidentikkan dengan barat sebagai penyebabnya. Kemerosotan moral yang menggejala di barat hendak dipaksakan agar juga berlaku di dunia timur. Ini sebenarnya tidak terlepas dari permasalahan hegemoni. Barat yang anti Tuhan atau paling tidak anti nilai-nilai ketuhanan, mau tidak mau harus diakui sedang berada pada posisi yang cukup menguntungkan bagi sebuah proses pemaksaan nilai-nilai kehidupan. Standar-standar ini sejalan dan erat berkaitan dengan diskursus seputar dua kata ‘kebaikan’ ‘dan keburukan’ itu sendiri, dirujuk dari sumber yang manakah; demikian terjadi baik dikalangan filosof muslim maupun barat. Definisi yang mendekati kesimpulan ranah diskursus di atas yaitu; bahwa kebaikan merupakan segala sesuatu yang bisa menghantarkan manusia kepada keinginan yang ia dambakan. Dirujuk kepada nalar atau instink yang dianugerahkan pada manusia seperti yang dikemukakan oleh kaum materialisme. Ataukah berpangkal dari bentuk fitrah yang sudah dialirkan oleh Allah pada diri manusia ketika awal penciptaannya; dengan tentu dikawal oleh syariat. Disinilah teori etika muslim mendapat poin tersendiri. Sebab segala tindakan seorang muslim diorientasikan seluruhnya pada Tuhan Yang Maha Absolut; yang Maha Bebas; bukan diorientasikan pada relativisme dunia yang belum tentu pasti arah penekanannya dalam suatu penilaian.

Maka secara umum bisa dibaca, barat meletakkan sebuah etika pada titik yang sulit dipahami(relativitas). Mana sebenarnya standar yang mereka pakai, sulit untuk dicari jawabannya. Hanya barangkali satu kata yang mewakilinya; kebebasan. Semua manusia bebas berkespresi; mereka boleh saja telanjang di muka umum asal mereka mau. Manusia boleh berpendapat dan mengeluarkan ide sekalipun itu mencederai perasaan orang lain. Barangkali, oleh karena itulah, sistem ekonomi yang berkembang di sana adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem politik yang mereka pakai adalah politik macheviali; tujuan menghalalkan segala cara.

Masalahnya kemudian, faham liberalisme seperti ini juga menggenjala di negara-negara timur (Islam). Nilai etika di Timur turut bergeser sesuai dengan standar barat. Sesuatu yang tadinya tidak biasa, seiring dengan dominasi Barat, telah menjadi makanan sehari-hari.

Berbeda dengan barat, Islam mengajarkan bahwa hidup manusia terikat dengan aturan al-Quran dan as-Sunnah. Manusia tidak boleh melanggar apa yang telah digariskan Allah dan Rasul di dalamnya (al-Baqarah: 229), (al-Nisa: 59), (al-Thalaq: 1). Dalam sebuah hadist disebutkan: "Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kamu semua berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan terpelosok ke dalam kesesatan selama-lamanya." Sejatinya, seorang muslim yang baik haruslah menyadari bahwa minhajul hayah-nya adalah al-Quran dan as-Sunnah, bukan budaya hedonis dan liberalis yang dipopulerkan barat. Timbangan baik dan buruk segala perbuatan manusia itu adalah al-Quran dan as-Sunnah semata. Oleh karenanya, etika yang dibawa oleh al-Quran dan as-Sunnah adalah sesuatu yang statis dan tidak berubah. Keluar dari dua hal ini, kerusakan akhlak dan dekadensi moral sudah pasti akan terjadi. WaAllahu a'lam bi al-shawâb.

Menjelajah Semesta Dengan Sains dan Iman















G
egap gempita dunia sains terus bergulir seakan tidak pernah berhenti. Fenomena astronomi semakin menemukan titik terang, di mana iktisyafat (penemuan) terus menggelinding di belantara studi dan riset luar angkasa. Para fisikawan modern bahkan bisa mengungkap misteri alam semesta sampai pada ‘detail’ kondisi luar angkasa; massa, jarak dan bentuk masing-masing benda di dalamnya. Jerih payah yang disumbangkan oleh para saintis (baca: astronom) ini sejatinya harus menjadi media menguatkan keimanan kita pada Allah dan kecintaan kita pada ajaran Islam.

Ilmu astronomi atau ilmu falak; sebagaimana orang arab menyebutnya adalah ilmu kuno yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Zaman Mesir kuno, mereka sering memperhatikan peredaran bintang untuk menentukan pergantian musim dan tahun. Mereka mengamati bintang Sirius dan meluapnya air sungai nil sebagai tanda pergantian tahun. Mulanya ilmu ini hanya sekedar pengetahuan semata, namun seiring dengan perkembangan zaman, ilmu ini menjadi pupuler dan menjadi cabang dari ilmu pengetahuan. Yaitu pada abad 18 M hingga 19 M, apalagi ketika ditemukan ilmu fisika dan kimia; Mulai ada penelitian dan penemuan-penemuan planet yang beredar pada galaksi Bimasakti.

Secara jujur harus diakui, bahwa dunia sains kontemporer berada dalam kuasa peradaban Barat. Merekalah saat ini yang memiliki kontribusi paling besar di bidang astronomi. Capaian demi capaian tidak pernah berhenti mereka gulirkan. Namun, sekalipun demikian realitanya, sikap inferior tetap tidak layak kita lekatkan dalam kepribadian kita. Sebab, walau bagaimanapun, kita tetap adalah anak kandung peradaban Islam yang pernah gemilang. Kita adalah umat dari sebuah agama yang agung. Maka minimal ada dua hal yang paling relevan untuk kita lakukan saat ini; pertama, usaha keras kita untuk membaca pusaka kita; al-Quran dan hadist serta sejarah pendahulu kita. Hanya dari sanalah kita bisa benar-benar percaya lalu kemudian yakin bahwa kita adalah umat yang kaya akan sejarah kegemilangan dan kaya akan pengetahuan. Dari sana juga kita bisa tahu jati diri kita yang sebenarnya bahwa kita bukan hanya penggugu karya orang lain. Kedua, kita haurs bersedia membumikan nilai-nilai progresif dalam kepribadian kita. Artinya, kita tidak cukup hanya terpaku pada normatifitas ayat-ayat al-Quran yang selalu kita klaim sebagai sciense source (sumber sains) yang otentik. Sejatinya kita harus mengupayakan adanya kegemilangan di bidang astronomi sebagaimana pernah dipraksiskan oleh qudama umat Islam.

Ayat pertama kali turun kepada Nabi Muhammad berbunyi "…Bacalah…". Lafal ini bermakna luas, tidak saja membaca apa yang diturunkan berupa wahyu, tetapi juga segala yang terjadi di alam juga merupakan objek bacaan kita (Qur'an al-kauniy). Sebab di sana terdapat bukti kekuasaan Allah SWT. Yang tidak terbatas dan tidak tertandingi. Juga banyak dalam kitab ini, ayat-ayat yang ditutup dengan lafal afalâ ta'qilûn atau afalâ tatadabbarûn dan lain sebagainya yang semakna. Walaupun redaksinya beragam, tapi memiliki satu makna yang begitu ditekankan bagi kita selaku umat Islam untuk mempelajari apa yang dianugrahkan oleh Allah kepada kita semua.

Hikmah yang bisa diambil dari beredarnya benda-benda angkasa tersebut adalah, jika kita hidup di atas sebuah planet diam dimana segala sesuatu –termasuk bumi yang kita huni- tidak pernah berubah, sedikit sekali tentunya yang bisa dikerjakan dan dibayangkan manusia, dan tidak akan ada gairah untuk berpikir menuju ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di alam semesta yang bergerak dan berubah. Di alam ini semua keadaan berubah mengikuti pola, aturan, atau mengikuti hukum-hukum alam. Seluruh peristiwa dan hukum-hukum alam itu memungkinkan kita bisa menggambarkan segala sesuatu. Akhirnya, kitapun bisa bekerja dengan ilmu, dan dengannya bisa memperbaiki hidup kita, dan dengannya pula bisa mengenal Sang Pencipta kita.





HITAMKU

Lama kutatap pematang sawah di bawah terik matahari. Seekor burung gagak bertengger di atas kerbau. Mematuk dan memakan kutu-kutu yang menempel pada tubuh kerbau dan menggangunya beraktifitas. Makin lama kuamati tingkah lakunya. Emm… ternyata dengan adanya si gagak memakan kutu-kutu tersebut, minimal memudahkan si kerbau untuk melanjutkan aktifitasnya. Di sisi lain, si burung gagak dapat memakan dengan cara seperti itu tanpa merugikan kerbau.

Alangkah indahnya jika kehidupanku bisa berjalan seperti fenomena dua hewan ini. Keduanya diciptakan sebagai hewan simbiosis mutualisme (hewan yang menguntungkan satu sama lain). Tapi lain pada diriku. Nafsu telah menguasai diri, maka keberadaanku lebih rendah dari pada binatang. Akal dan nafsu selalu bertarung saling mendominasi. Tapi kenyataanya, aku tidak mampu menggunakan rasio (akal) dengan baik. Apa daya berkemampuan untuk memahami, menyimpulkan, berpikir secara logis (masuk akal) kalau dibarengi nafsu yang rusak. Ya… dengan kondisi seperti ini aku akan menjadi makhluk perusak dan berbahaya, makhluk pembangkang dan sombong, lalai akan keberadaanya di muka bumi. Puncaknya menjadi makhluk yang paling arogan.

Aku terlalu mudah menyalahkan dan menuding orang lain. Padahal, perbedaan bukan menjadi suatu alasan untuk kita saling bertengkar. Apa lagi mengunggulkan dan merendahkan orang lain. Aku tidak cerdas dalam menyikapi perbedaan yang ada.

Sebagai manusia biasa, akalku pun tak cukup. Harus ada penyeimbang. Akal harus memiliki nutrisi untuk mengendalikan hawa nafsu. Hanya dengan akal semata, aku terlampau kecil untuk memikirkan alam yang sebesar ini. aku tidak akan bisa menemukan hakekat dengan benar, sebab aku adalah ciptaan yang memiliki batas.

Aku terkesima dengan tulisan-tulisan Bang Irwan yang teduh. Al-qur’an yang setiap hari beliau baca telah sinergis dengan akalnya. Akalnya pun dididik untuk selalu tunduk dengan sang pencipta, dilatih untuk berfikir sehat dan jernih. Keberadaan naqli (petunjuk al-qur’an & hadis) menjadi inspirasi terbesar sekaligus pendidik akalnya. Terima kasih Bang Irwan yang telah mengingatkanku.

Buat Pak De’a dan Bang Wendra Wijaya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, memang di setiap goresan kalimatku terdapat kata-kata kasar. Aku hanyalah manusia biasa yang masih ingin belajar, apalagi merangkai kalimat yang santun dan sopan. Dengan adanya inseden itu, aku mulai belajar untuk menjadi lebih dewasa. Aku kagum atas sikap kalian yang tidak mudah terpancing emosi, dan pantas disebut manusia berwawasan luas.

Mengutip potongan syair lagu “HITAMKU”-ANDRA & THE BACKBONE

maafkan kata yang tlah terucap
akan ku hapus jika kumampu (insyallah mampu)
andaiku dapat meyakinkanmu
kuhapus hitamku

Lagu itu adalah lagu kesukaanku, tapi itu hanyalah sebuah lagu yang tak semua orang pasti suka. Dengan sedikit kemampuan sebagai orang bejat (arogan), akan kuhapus hitamku dengan sekuat tenaga.

Zona Militer Tertutup

Kian hari keangkuhan barat yang semakin menjadi-jadi. Keangkuhan yang saya maksud bukan tanpa dasar. Tengok saja rentetan kejadian yang bertubi-tubi menyerang Islam. Tuduhan terorisme, pencidukan tokoh-tokoh Islam dengan dalih teroris, hingga invasi militer tanpa dalih kuat ke suatu Negara dan menginjak-injak martabat bangsa tersebut.

Dengan mata telanjang, kita semua tahu apa yang sebenarnya terjadi. Scenario macam apa yang sedang dimainkan dan siapa dalang di balik ini semua. Namun untuk yang kesekian kalinya, kita tidak mampu berbuat apa-apa. Sungguh tragis, hampir semua kita mengutuk keras sikap amerika dan anteknya (Israel) dengan segala kebijakan mereka. Namun dengan sangat sadar, kita tahu bahwa mereka tidak akan pernah mendengar umpatan dan kutukan kita, sekeras apapun itu. Ibarat berteriak kepada orang tuli, sekeras apapun omongan kita tak akan terdengar. Tapi dalam hal ini, tentunya bukan amerika yang tuli, namun corong kita yang tidak kuat. Kita lemah.

Secara histories, Barat telah memposisikan Islam sebagai musuh utama pasca runtuhnya kekuasaan gereja. Proyek besar lantas bergulir untuk melemahkan kekuatan Islam. Mereka sadar, bahwa pertikaian fisik tidak lagi menjamin kemenangan. Kesadaran yang kemudian membawa mereka untuk menyusup ke tubuh umat Islam dengan diam-diam. Pengaruh dan faham yang pada dasarnya bersebrangan dengan dokrin Islam perlahan-lahan disuntikkan. Di mana dalam hal ini, teknologi komunikasi merupakan salah satu hardware utama.

Berbicara teknologi komunikasi, tidak lepas dari Yahudi yang berada di balik kemajuan dan kecanggihannya. Sayangnya, hal ini tidak lepas dari kepentingan golongan dengan tujuan menguasai dunia. Dalam skala mikro, mereka ingin melemahkan kekuatan Islam. Hal ini tertuang dalam protokolat zionisme no 12, yang berbunyi:

Sepotong berita pun tidak boleh sampai ke masyarakat sebelum mendapat persutujuan dari kita. Karena itu kantor-kantor berita yang merupakan sumber seluruh berita dari seluruh pelosok dunia harus dikuasai, pada saat itulah baru kita menjamin tidak ada berita yang tersebar kecuali yang telah kita pilih dan kita setujui.

Dengan melihat ini, segala macam berita yang tersebar tidak lepas dari pantauan Yahudi, untuk melancarkan segal kepentingannya. Mereka merasa kuat dan mampu menguasai, propaganda dan pemutar balikkan fakta yang mereka sebarkan. Dokrin Islam mereka grogoti. Mereka masuk dan ada dibalik kemajuan zaman.

Jeremy Bowen selaku Editor Timur Tengah BBC News dalam laporannya, Negara ini juga menyatakan sebagian besar wilayah Israel di perbatasan Gaza sebagai zona militer tertutup yang memberi kekuasaan pada tentara untuk mengusir para wartawan. Juru bicara Israel di seluruh dunia pers mengemukakan pernyataan yang konsisten. Mereka berulang kali, tanpa lelah, menegaskan bahwa Israel bertindak untuk membela diri, bahwa wilayah kedaulatannya dilanggar oleh serangan roket dan bahwa negara manapun yang berada dalam posisi itu akan melakukan hal yang sama.

Sebenarnya yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza bukan sebuah perlindungan diri, melainkan tindakan yang bisa dikatakan keterlaluan dan tidak berimbang. Bayangkan, Hamas dari Jalur Gaza hanya melontarkan roket, sementara Israel menggunakan teknologi dengan presisi tinggi. Serangan brutal Zionis Israel ke Gaza pada hari Sabtu, 27 Desember 2008 merupakan bukti yang kuat dan saksi nyata untuk kesekian kalinya telah membuka topeng manipulasi yang selama ini dipakai Zionis Israel. 60 persen negara-negara Eropa dalam polling menyatakan bahwa Israel mengancam stabilitas keamanan dunia dan menjadi sumber terorisme.

Tatkala bencana datang dan merusak banyak sumber penghidupan, seharusnya manusia mengoreksi diri akan tingkah lakunya yang secara tidak sadar telah mengeksploitasi lingkungan alamnya.